Selasa, 29 Maret 2016

Jika Saya Mati, Sebentar Lagi



Jodoh yang paling pasti adalah kematian. Semua orang entah esok atau kapan saja akan meninggalkan dunia yang isinya siang dan malam.

(Sinta Ridwan - Berteman Dengan Kematian)

Pelan-pelan saya resapi kalimat yang teruntai di dalam buku. Kematian? Seringkali manusia lupa bahwa kehidupan dan kematian sudah ditakdirkan oleh-Nya, di lauful mahfudz. Tapi, apa yang akan saya lakukan ketika akan meninggal dunia, 8 hari lagi?

Tentu saja saya akan memerah asi. Saladin, anak tunggal saya, masih menyusu. Minimal ia bisa menyesap asi, walau stok yang ada mungkin hanya cukup untuk satu bulan.  Asi perah itu akan menghangatkan lambungnya. Mencurahkan kasih sayang, walau ibunya telah tiada.

Saya tak mau ia sedih walau tak ada yang menemaninya siang dan malam. Jadi akan ada kado-kado khusus untuknya, walau ia belum mengerti. Bulan depan, ia akan mendapat bantal bergambar masha and the bear. Tiga  bulan kemudian, selimut bergambar paw patrol akan menghangatkannya saat malam. Fyi, mereka adalah tokoh kartun kesukaan Saladin. November, saat ia berulang tahun, saya hadiahkan gelas plastik. Agar ia bisa minum sendiri.



Sementara di ulang tahun berikutnya, akan ada saputangan sebagai kado. Saat ia mulai tumbuh besar, sapu tangan itu akan menghapus airmata kerinduannya. Sepatu keds menjadi hadiah di tahun selanjutnya, jadi Saladin bisa berpetualang ke mana saja.

Saat ia berulang tahun ketujuh, saya memberikannya buku doa. Agar ia bisa membaca doa untuk almarhumah ibunya. Tahun berikutnya, ia bisa belajar arah mata angin dengan petunjuk dari kompas. Sebagai calon petualang cilik, ini gadget yang ia butuhkan. Di ulang tahunnya yang kesembilan, akan ada sarung sebagai hadiah. Agar ia belajar solat dengan khusyuk.

Sementara tahun berikutnya, satu set buku gambar dan krayon bisa menjadi pelampiasan emosinya. Dompet menjadi kado ulang tahunnya yang kesebelas, jadi Saladin bisa mengatur uang sakunya sendiri. Di ulang tahunnya yang keduabelas, ia bisa menenggak air putih dari botol air minum yang saya hadiahkan.

Saat ia sudah tiga belas tahun, sudah hampir aqil balig. Tasbih bisa menjadi temannya dalam perjalanan, agar ia bisa zikir setiap saat. Itu hadiah terakhir untuknya, sampai ia jelang dewasa. Nanti ayahnya akan membungkuskan barang-barang itu dan memberikannya sesuai dengan petunjuk dari saya.

Mikirnya udah jauh banget ya? Padahal waktu saya untuk tinggal di bumi tinggal sebentar. Mumpung masih ada 8 hari, saya ingin mendekatkan diri padaNya. Meningkatkan kualitas ibadah dan juga berdoa. Semoga nanti keluarga yang ditinggal akan sabar dan legawa.

Setelah salat taubat, segera menghampiri mama dan papa. Meminta maaf, karena belum bisa jadi putri yang membanggakan. Lalu segera menghadiahkan: susu kalsium untuk mama, dan setelan olahraga plus tape recorder baru untuk papa. Semoga kado kecil ini akan membuat mereka senang.

Selain orangtua, harta saya yang paling berharga adalah suami tercinta. Sejuta kata maaf terucap, mungkin ada kesalahan (yang menurut saya kecil), tapi menyakiti hatinya. Bukankah kemarahan suami adalah kemarahanNya juga? Semoga dengan maaf dan ridhonya, kelak saya bisa masuk surga.

Juga akan ada kejutan kecil untuk sang belahan hati: tiga puluh lembar surat cinta. Berisi puisi, ungkapan sayang, dan terimakasih. Karena ia telah setia mendampingi saya, hingga ajal menjelang.
Tapi ia hanya boleh membuka satu surat saja, setiap harinya. Semoga setelah membaca surat itu, ia bisa terhibur. Walau saya tak lagi ada di sisinya.

Pada salah satu surat itu, juga ada surat wasiat. Mungkin harta saya belum sebanyak Donald Trump, tapi isi dompet dan rekening wajib disedekahkan. Begitu juga dengan baju-baju, sepatu, kerudung, diberikan saja kepada fakir miskin.

Buat apa barang-barang itu, jika saya tiada? Jika suami melihatnya, ia akan terkenang, lalu berurai air mata. Jadi lebih baik untuk orang lain saja.

Kenangan manis bersama teman kuliah masih terpatri di hati. Tapi kami jarang bertemu, karena sibuk dengan pekerjaan atau urusan keluarga. Jadi setidaknya saya bisa mengunjungi rumah mereka. Membawakan brownies dan pizza buatan sendiri, bercakap-cakap dan bercanda. Mengenang masa kuliah, lalu meminta maaf. Semoga mereka mau memaafkan kesalahan dan ikhlas jika nanti saya pergi untuk selamanya.

Setelah bertemu dengan mereka, saya akan izin cuti sebentar dari kewajiban menjadi ibu rumah tangga. Menikmati kegiatan yang sudah lama tidak dilakukan: senam dan angkat beban  di fitness center, lalu sauna. Setelah itu, mandi, berganti pakaian, lalu naik angkutan kota. Menikmati kemacetan di jalan. Menuju mall yang letaknya jauh dari fitness center.

Saya tak ingin berbelanja, hanya kangen makan soto betawi di foodcourt mall. Sambil mengamati orang yang lalau lalang. Duduk sendiri, merenung, ternyata manusia lahir sendiri, mati juga sendiri. Ya, saya ingin menikmati kesendirian ini. Bertanya pada suara hati, apakah sudah siap untuk pergi?

Jika nanti saya pergi, tak ada yang disesali. Karena sebelum meninggal dunia, saya ingin mewujudkan obsesi lama: belajar merias wajah. Kebetulan ada teman perias yang mengajar privat juga.

Walau mungkin hanya sekali, setidaknya saya bisa merias muka sendiri. Lalu beranjak pulang dan memberi kejutan kepada sang suami. Berharap ia bahagia karena melihat istrinya tampil istimewa, hanya untuknya.

Bahagia? Ya, walaupun nanti suami, anak, dan orangtua sedih, tapi hati saya terasa bahagia. Karena akan bertemu dengan sang Maha Pencipta. Meninggalkan dunia dengan damai. Mengakhiri hidup dengan senyuman.

Kata orang jaman dulu, hidup hanya mampir ngombe (mampir minum). Hanya sekejap. Sebelum malaikat maut menjemput, saat nyawa masih di kerongkongan, saya berbisik: terimakasih. Walau hanya sebentar, tapi saya diberi kehidupan yang penuh cinta.

Tulisan ini diikutkan dalam dnamora Giveaway




Sabtu, 19 Maret 2016

Bertukar Ibu

BRAAK! Richa menaruh kotak bekalnya keras-keras. Sinta yang sedang minum teh botol hampir tersedak.

"Lagi sariawan ya? Kok manyun? Kaget aku, sampai hampir tersedak", goda Sinta. Richa malah memajukan bibirnya empat sentimeter. Beberapa orang di kantin sekolah menertawainya.

"Lihat nih! Sandwich lagi, dan lagi!", kata Richa. Ia membuka kotak bekalnya. Ada roti berbentuk segitiga, berisi dadar, tomat, dan mentimun. Sinta menelan ludah.

"Kalau gak mau, buat aku aja! Hari ini ibu lupa tidak membuatkanku bekal. Jadi harus beli di kantin", ujar Sinta.

Lebih baik beli makanan di kantin, daripada makan roti tiap hari. Gumam Richa dalam hati.  Lalu..

"Gimana kalau kita bertukar ibu? Nanti kamu masuk rumahku, aku tinggal di rumahmu". Apa??

Richa berpikir sebentar."Oke, mulai hari ini ya!".

KRIING! Tiba-tiba bel berbunyi. Murid-murid di SD Cempaka Kuning bergegas masuk kelas. Di kelas, Richa tak bisa menyimak ajaran Bu Mamiek. Pikirannya melayang. Bertukar ibu, bertukar rumah?

Tak terasa sudah jam 1 siang. Saatnya pulang. Richa dan Sinta naik angkot yang sama. Mereka tinggal di kompleks Cahaya Hati.

"Ciit!", angkot berhenti di depan perumahan. Richa tersentak dari lamunan. Segera ia memberikan uang pada supir. Dan mengejar Sinta yang turun duluan. "Sintaa, tunggu!".

Richa bergegas menyusul Sinta. Sinta belok kanan, menuju rumah Richa.
"Kamu lupa ya? Rumahku di blok C, belok kiri!".

Kaki Richa melangkah pelan. Nomor 2, itu rumah Sinta. Bercat warna ungu, berpagar hitam.  Tingtong! Richa membunyikan bel.

Lima menit kemudian, pintu baru dibukakan. "Richa? Sinta kan belum datang. Lho biasanya dia pulang bareng kamu kan?". Tante Padmi, mama Sinta, heran.

Richa menjelaskan, "Tante, mulai hari ini saya jadi anakmu. Sinta pulang ke rumah saya. Kami bertukar ibu".


Tante Padmi menggaruk rambut. Lalu membetulkan letak kacamatanya. "Baiklah, mari masuk!".

Richa melangkah ke ruang tamu, lalu melepas sepatunya. "Maaf ya, Tante tadi masih kerja. Jadi telat bukain pintu". Richa mengangguk pelan. Ya, beliau bekerja sebagai penerjemah. Sepertinya banyak sekali artikel yang harus diterjemahkan.

Krieet..Tante Padmi membuka pintu kamar Sinta. "Setelah ganti baju, makan siang ya. Cari sendiri di meja makan. Maaf Tante harus kerja lagi"

"Terimakasih", kata Richa perlahan. Lalu ia melongok ke dalam lemari baju. Ups, Richa lupa. Sinta sangat suka warna pink. Jadi hampir semua kaosnya bergambar hello kitty atau barbie, berwarna merah muda. Sedangkan ia benci warna itu. Aah, untung ada satu kaos berwarna putih.

Setelah ganti baju dan cuci tangan, Richa membuka tudung saji. Ada dua bungkusan berwarna cokelat. Setelah dibuka, isinya nasi, ayam suwir, dan tumis buncis.

Richa berdoa lalu duduk. Ia memakan nasi bungkusnya. Pyaar! Huh, hah! Pedaas! Ternyata ada potongan cabe di dalam tumis buncis. Gluk gluk! Richa minum air banyak banyak.

Ibu tahu Richa tak suka pedas. Jadi tumis kangkung buatannya tak diberi cabe. Sebenarnya Richa ingin membuang nasi ini. Tapi demi menghormati Tante Padmi, ia menghabiskannya.

Sorenya Richa membaca buku sejarah. Besok ulangan. Rumah Sinta lengang, Tante Padmi masih bekerja di kamarnya.

Biasanya Richa menanyakan jawaban di LKS sejarah pada ayahnya. Tapi ayah Sinta tak ada. Ia bekerja di perusahaan minyak, di lepas pantai. Pulangnya hanya tiga kali dalam setahun.

Tak terasa sudah jam 9 malam. Tante Padmi masuk kamarnya. Tersenyum dan mengucapkan selamat tidur. Richa melipat selimutnya. Ia gelisah, tak bisa tidur. Membayangkan, apa yang dilakukan Sinta di rumahnya?

Kriing! Weker berbunyi. Astaga, sudah jam 6 pagi! Richa bergegas mandi dan berganti baju. Tante Padmi duduk di ruang tamu. Matanya setengah terpejam.

"Richa sayang, maaf semalam Tante lembur. Tak sempat masak bekal, apalagi sarapan. Beli di kantin saja ya!", kata beliau. Sambil menyodorkan uang dua puluh ribu.

Tiba tiba Richa ingin makan sandwich. Ia merindukan ibunya...

Tulisan ini diikutsertakan dalam #FirstGiveAwayCeritaAnak















Selasa, 15 Maret 2016

Tiga Dekade Penuh Rasa



"Tulisanmu tidak logis!" . Ucapan Bu Yayuk bergema di kelas lima, diiringi derai tawa. Oleh teman sekelas, yang menganggap tulisanku konyol. Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Kami disuruh menulis satu paragraf. Seingat saya, tulisannya berisi, "Tino pergi ke rumah Rina. Tino naik sepeda. Sambil bernyanyi dan bersiul-siul". Awalnya, saya kira tulisan ini brilian. Ternyata malah ditertawakan.

Itulah secuil tragedi di masa kecil saya. Perkenalkan, saya Avizena Elfazia Zen, lahir 19 desember 1986. Nama saya agak aneh, karena untuk laki-laki (Ibnu Sina).  Tapi, what is a name? Saya suka karena unik, tidak ada anak gadis di Jepara yang bernama sama.


Ya, saya numpang lahir di Jepara, lalu pindah ke Malang. Karena Mama mengajar di sebuah Universitas Negeri di kota apel ini. Lalu lahirlah tiga adik laki-laki, Oca, dan Foresta, dan Doni.

Masa kecil saya tidak bagus-bagus amat. Saya tumbuh menjadi anak minder. Karena di SD sering diejek dan dibully, hanya gara-gara tidak bisa bahasa jawa. Di rumah bahasa ibu pakai bahasa indonesia. Jadi, ketika ngomong bahasa jawa, terdengar janggal dan ditertawakan. Mereka jauh lebih tua, karena saya masuk SD di usia 5,5 tahun. Badan kurus kecil ini juga jadi bahan guyonan.

Karena tak mau bergaul dengan mereka, akhirnya saya sering mengurung diri, sepulang sekolah. Menulis buku harian. Hitung-hitung latihan menulis, kan calon wartawan. Saat itu saya ingin jadi wartawan seperti Papa. Keren sekali, liputan, menulis, lalu dimuat di koran. Tapi apa ada wartawan yang tidak percaya diri?

Rasa minder ini membuat saya tak punya prestasi apa-apa. Tapi semua berubah saat kelas lima. Seorang kepala sekolah bernama Bu Djum berkenan mengajar bahasa inggris. Wow, ternyata saya berbakat di bidang  bahasa.

Nilai ujian bahasa inggris selalu dapat 9 dong. Saat sekolah di SMPN 5 maupun di SMUN 8 Malang, bahasa inggris dan conversation selalu jadi kesukaan saya.

Namun minder saya hampir kambuh saat SMU. SMUN 8 Malang terkenal sebagai sekolah artis, karena ada banyak alumninya yang menjadi model lokal, maupun artis nasional. Di angkatan saya, yang go national adalah Andika Pratama dan Mey Chan. Murid yang bukan artis pun ikut ikutan bergaya hedonis, pakai sepatu impor, ke sekolah nyetir mobil sendiri, dll.

Sedangkan saya berangkat sekolah naik angkot, dan pakai seragam kedodoran. I was an ugly duckling. Tapi pertemuan dengan Bravo crew mengubah hidup 180 derajat. Saya direkrut di ekstra kulikuler itu, menjadi wartawan sekolah. Saat diklat, kami ditempa agar jadi orang dewasa yang pemberani dan percaya diri.

Gebrakan pertama Bravo adalah menerbitkan majalah sekolah yang vakum selama bertahun-tahun. Setelah mengantongi izin dari kepala sekolah (yang baru), kami beruntung. Karena SMUN 8 Malang dijadikan venue acara konser musik yang disponsori oleh sebuah produk sampo. Jadi kami bisa mewawancarai Jun Fan Gung Foo dan Dewi Sandra.

                                    Geng Bravo saat diwawancara oleh sebuah majalah remaja

Apakah hasil wawancara itu membuat majalah Bravo laku keras? Ternyata..Di luar ekspetasi, tak semua laku terjual. Bahkan kami harus berhutang ke percetakan.

Tapi hal itu tak membuat saya kapok menulis. Semangat literasi saya semakin menggebu saat kuliah di jurusan bahasa inggris di sebuah PTN di Malang. Saat kuliah berasa di "surga", karena bisa belajar writing, poetry, drama, lalu pentas. Asyik kan!

Saat itulah saya pertama kali kerja sambilan, jadi guru privat bahasa inggris. Sesekali menerima job menerjemahkan artikel. Seorang teman juga mengajak saya berjualan kaos secondhand.

 Walau banyak kegiatan di luar,  tapi saya menikmati "me time" dengan  menulis di rumah. Tahun 2008 saya berkenalan dengan blog (multiply), lalu kecanduan menulis di sana. Beberapa kali artikel saya juga dimuat di media massa, walau tak semua memberi honor. Minimal saya menunjukkan bahwa perkataan Bu Yayuk 10 tahun itu salah. Ternyata saya bisa menulis

Pengalaman "memegang uang" justru saya dapatkan setelah menikah. Bukan gaji suami lho, tapi keuntungan bisnis. Ya, sejak akhir 2011 saya dan suami mendirikan sebuah percetakan. Dengan bermodal bismillah dan uang 600.000 rupiah (dari amplop-an para tamu di pesta pernikahan), kami membeli sebuah mesin cetak mini.

Suami menjadi desainer sekaligus kepala bagian produksi. Sedangkan saya menjadi marketing online. Pengalaman memasarkan kaos dan jaket saat kuliah ternyata sangat membantu kelancaran bisnis ini.

Bisnis yang awalnya lancar ternyata harus tersendat di tahun 2014. Seorang partner dengan tega melarikan mesin cetak, padahal kami sudah menyewanya dengan akad 15 juta rupiah. Setelah mencoba bertahan selama hampir dua tahun, percetakan ini harus ditutup, dengan berat hati.

Lembar hitam harus dihapus, berganti dengan awal yang baru. Setelah hampir 40 hari berkabung karena melepaskan bisnis yang dibesarkan dengan keringat, darah, dan air mata, akhirnya saya berdagang lagi. Beruntung seorang tetangga mempercayai saya, beberapa dompet dan tas kulit boleh dibawa dulu, jika laku baru dibayar. Pemasaran via online pun digencarkan, dan saya mendalami copy writing dan covert selling. Hey, ternyata itu menulis juga kan, membuat kalimat iklan yang menarik dan merayu para calon customer.

Blog (yang jarang diisi) ini juga mulai dirapikan dan ditulisi lagi. Anyway, cita cita menjadi wartawan boleh kandas (karena tidak bisa mengendarai sepeda motor).  Namun saya  masih bisa menulis di blog, di iklan, di mana saja.

Kejadian pahit dan manis datang silih berganti, bittersweet. Semua bisa jadi inspirasi tulisan dan sweet memory.

Setelah ngeblog di sini, jadi tahu Mbak Ika melalui seorang teman, salam kenal ya. Banyak sekali komunitas yang diikuti. Walau baru setahun ngeblog, tapi tulisannya udah banyak banget. Happy anniversary! Makasih atas GA-nya, jadi bersyukur atas anugerah selama hampir 30 tahun saya hidup.

Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway

Senin, 14 Maret 2016

Papa, Teman Ngeblogku yang Istimewa

"Itu apa? Kok keren banget ya. Mau bikin juga ah!

Begitulah ucapan saya di tahun 2008, saat pertama kali melihat tampilan blog di layar komputer. Berwarna warni, berbinar, cantik dan rupawan. Sebuah rumah maya bernama Multiply menarik hati. Sehingga diri ini tergerak untuk registrasi. Saat mp meninggal dunia (dengan tragis), saya pindah ke blog ini dan di sono. Lalu siapa yang memperkenalkan dan memotivasi untuk ngeblog?

Ialah Papa. Beliau berprofesi sebagai wartawan televisi. Pekerjaan beliau menuntut untuk selalu update dengan situasi terkini. Jadi Papa hobi browsing di internet, dan lebih dahulu kenal dunia blogging daripada saya. Gaul banget ya!



Papa tidak pernah mengajari menulis di blog secara khusus. Beliau hanya menunjukkan bagaimana cara mendaftar, masuk ke blog, lalu selebihnya saya belajar sendiri.

 Setelah aktif menulis dan bergaul di multiply, saya jadi kenal blogger lainnya.  Ada artisnya juga lho, seperti Panji, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia. Tulisannya sudah pasti keren dan paten. Namun setelah membaca tulisan itu, kadang ada rasa minder yang terselip di dalam kalbu. Bisakah saya menulis sepanjang dan sebagus itu? 

Maklum, di awal ngeblog, isinya hanya curahan hati, omelan, dan juga puisi. Semacam buku harian online-lah. Tulisannya pendek pendek pula.

Namun rasa minder itu terbang seketika, ketika Papa memotivasi. "Ayo sayang, semangatnya mana? Baca buku lagi yuk!", bujuknya. Akhirnya saya rajin mengunjungi Perpustakaan Umum Kota Malang. Saat senggang, bisa  melahap habis 30 buku dalam sebulan. Kecepatan membaca pun meningkat drastis, jadi 200 halaman per jam.

Tapi apa yang terjadi setelah rajin membaca buku? Ternyata saya tak kunjung menang lomba menulis flash fiction dan cerpen di mp. Lagi-lagi Papa memotivasi. Beliau mengajari cara menulis lead artikel yang enak dibaca. Meyakinkan saya bahwa menulis itu harus dari hati.

Tak disangka beliau juga ikut lomba menulis di website seorang motivator terkenal. Alhamdulillah dapat juara dua. Judul tulisannya, "Menulis untuk Biaya Kuliah". Berisi pengalaman beliau saat kuliah di Jogja. Mencari uang SPP sendiri, mengumpulkan honor dari artikel dan opini yang dimuat di beberapa media massa.

Semangat blogging langsung terbakar pasca membaca tulisan itu. Namun beberapa tahun kemudian, spiritnya jadi ambruk, jatuh dan pecah berkeping-keping. Karena multiply ditutup untuk selamanya. Saat itu, saya hamil tua, sehingga gampang sedih dan lebih perasa.

Apa yang Papa lakukan? Beliau tetap semangat menulis di blog, pindah rumah maya ke sini. Akhirnya saya mengikuti jejak beliau. Walau frekuensi ngeblog jauh berkurang, tak bisa setiap hari. Karena kini waktu juga harus dibagi. Dengan mengurus bisnis, keluarga, dan juga suami.

Di blog baru ini ternyata seru juga, jadi kenal blogger lainnya yang unik-unik. Dan ternyata ada banyak sekali lomba plus giveaway. Jumlahnya jauh lebih banyak dan hadiahnya besar, dibanding dengan jaman blogging di multiply dulu. Semangat menulis pun jadi lebih terpacu.

Apakah saya langsung menang kompetisi menulis di blog baru? Ya, beberapa kali, tapi belum pernah menang lomba nasional yang hadiahnya jutaan rupiah. Kadang setelah menang lomba, ada yang berkomentar, "Oalah, hadiahnya cuma buku, percuma kamu nulis capek capek!"

Patah semangat? Ya, dulu sih begitu. Sekarang, setiap kali loyo, saya baca blog Papa. Mencari inspirasi dan suntikan motivasi. Merenung, bisakah saya melampaui prestasi Papa, bisakah saya membahagiakannya? Terimakasih banyak, Papa. Kaulah teman ngeblog sekaligus inspirasiku.


"Tulisan ini diikutkan dalam Irly & Diah's GA Collaboration: Teman Nge-Blog"





Kamis, 03 Maret 2016

Resensi Fortunata

penulis:  Ria N Badaria
penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2008
tebal: 167 halaman
genre: metropop
Rate : 13+

Layla merasa ia adalah gadis paling tidak beruntung sedunia. Kakaknya menghancurkan impiannya untuk kuliah pariwisata. Biaya kuliahnya terpaksa dipakai untuk membiayai pernikahan kakaknya yang telah menghamili pacarnya. Satu-satunya keberuntungannya adalah Irman, pacarnya, tapi mereka  terpaksa berhubungan jarak jauh . Irman berjanji akan datang ke Monas setahun kemudian.


 Di Jakarta, ia bekerja di sebuah restoran ayam goreng, jauh dari keluarganya yang tinggal di Bogor. Suatu hari, ia hampir tertabrak ambulans, ketika ada sosok asing menariknya. Sosok itu adalah roh Arta, cowok yang koma di Rumah Sakit dekat rumah Bibi Layla. Arta adalah  lulusan Fakultas Hukum Universitas di Korea.  Ia menumpang sementara di kamar Layla, karena tubuhnya menolak rohnya masuk. Ia mengalami koma setelah kecelakaan, karena terkejut  setelah tahu bahwa Fara, pacarnya, berselingkuh dengan sahabatnya, Hendra. Arta menjadi sahabat Layla. Pelan-pelan,  Arta mulai mencintai Layla. Ia membantu Layla mendapatkan uang untuk membiayai kuliahnya. Ia bujuk Layla untuk mengambil ATM nya di RS, tapi tidak berhasil. Ia menulis, merasuki tubuh Layla saat tidur, tapi malah membuat Layla terlambat. Ia membujuk Layla lagi, menyuruhnya yang gaptek untuk pergi ke rental dan mengirimkan naskah via e-mail.

Satu tahun telah berlalu, Layla tak sabar untuk menemui Irman. Layla mengorbankan separuh gajinya untuk baju dan kosmetik, dan sisanya ia gunakan untuk ongkos taksi ke Monas. Tapi di sana Irman tak kunjung datang. Saat hujan turun sore harinya, Arta membujuk Layla pulang. Di rumah, ada undangan pernikahan dari Irman! Hati Layla hancur saat Irman menulis bahwa ia masih mencintai Layla.

Layla lalu patah hati, tapi bergembira lagi saat ia mengenal Henri, rekan kerja barunya. Tapi kebahagiaan itu berubah menjadi bencana saat Hendri memaksa Layla menonton Fear Factor, padahal Layla jijik. Arta mengingatkan bahwa itu bukan cinta, lagipula ia memergoki Hendri mengantarkan perawat di Rumah Sakit yang merawatnya. Tapi Layla kukuh berpacaran dengan Hendri. Sampai akhirnya ia melihat sendiri Hendri mencium perawat yang dimaksud Arta. Ia sedih, dan memutuskan untuk pulang kampung (meskipun beresiko dipecat oleh managernya yang galak).
Di rumah, ia merasa nyaman, tapi tiba-tiba Irman datang bersama istri barunya. Irman menjelaskan bahwa ia menikahi Ella, sepupunya, karena terlanjur dihamili oleh pria yang tak bertanggung jawab. Tapi Layla menolak penawaran Irman untuk kembali setelah Irman bercerai, karena ia merasa Ella mencintai Irman. Lagipula, ia mulai kangen dengan Arta.

Tapi di Jakarta Arta menghilang! Layla tak tahu apakah ia sudah kembali ke tubuhnya atau belum. Yang ia dapat hanyalah uang 5 juta rupiah yang ditransfer Arta, sebagai biaya sewa kamarnya. Saat ia merindukan Arta, tiba-tiba Arta-dalam versi utuh, bukan rohnya- datang dan menyatakan cinta. Layla pun merasa bahwa kehidupannya sempurna. Setelah melewati berbagai derita, ia juga berhak bahagia.
    

I read this book so many years ago, and i lost the cover photograph..oh..Maaf mbak Ria..
Setelah nonton 49 days (drama korea) kok jadi ingat novel ini ya..Sama sama bercerita tentang roh yang menelusup..Jangan jangan drakornya terinspirasi dari buku ini, hehehe.