Sabtu, 30 April 2022

Jadi Relawan Adalah Jalan untuk Memberi Manfaat bagi Sesama

Kawan-kawan, pernahkah melihat di tayangan televisi ketika ada bencana lalu relawan datang berbondong-bondong untuk memberi bantuan? Mungkin ada yang bingung, mengapa mereka mau melakukannya padahal jelas pekerjaan itu melelahkan dan tidak ada bayarannya? Untuk memutus rasa penasaran, maka saya mewawancarai salah satu relawan asal Malang yang bernama Tika.

Tika adalah seorang blogger dan di sela-sela kesibukannya ia jadi relawan di sebuah organisasi non-profit. Organisasai itu belum terlalu lama berdiri, baru 2 tahun ini, tepatnya di awal pandemi. Anggotanya adalah mereka yang tergabung dari beberapa komunitas di Malang.

Kegiatan sosial yang dilakukan oleh Tika dan kawan-kawan ada macam-macam. Mulai dari bagi-bagi paket bantuan ke pemulung, tukang becak, dan tukang parkir sampai bakti sosial ke panti lansia dan panti asuhan.  Mereka juga memberi sembako ke pasien corona yang sedang isolasi mandiri. Tika suka berkecimpung di organisasi non-profit ini dan menurutnya sedekah adalah cara termudah untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang lain.



Tika merasa senang melakukaan kerja sosial walau kadang terbersit rasa bahwa ia belum bisa melakukan banyak hal untuk sesama. Apalagi jika ada kendala seperti kurang koordinasi antar teman dalam tim. Namun ia optimis akan lebih bisa memberi lagi dan makin kompak saat melakukan kegiatan donasi.

Mengapa Mau Jadi Relawan?

Ketika mewawancarai Tika maka yang paling memantik rasa ingin tahu adalah sebuah pertanyaan ini, “Mengapa kok mau jadi relawan?”

Tika menjawab dengan santai, “Panggilan hati membuat saya jadi relawan.” Jawaban itu membuat hati tersentuh. Ketika tidak ada bayaran sedikitpun, seorang relawan melakukan kerja sosial karena panggilan dari hatinya. Tak hanya fisiknya yang digerakkan tetapi juga sukmanya bergetar untuk memberi bantuan pada sesama, dengan cara memberi waktu dan tenaga. Bukankah ini adalah tanda bahwa Allah yang memanggilnya karena Ia adalah penguasa hati manusia?

Jawaban dari Tika memberi pemahaman bahwa memberi manfaat tidak hanya dengan cara bersedekah harta. Namun juga dengan membaktikan diri sebagai relawan. Ketika kita yang diberi anugerah oleh-Nya dengan tubuh yang sehat maka bisa jadi relawan agar waktu lebih bermanfaat dan sekaligus menambah pahala.

Memang jadi relawan itu capek karena bergerak terus dalam memberi paket sembako dan berbagai bantuan lain. Belum lagi waktu yang dialokasikan untuk penggalangan dana, pembelian sembako, dan pemberian donasi. Namun Tika merasa senang melakukannya karena hidupnya jadi bermanfaat. Benar-benar lelah menjadi lillah.

Memberi Manfaat dengan Jadi Relawan

Sepenggal cerita tentang serba-serbi jadi relawan yang dipaparkan oleh Tika membuat saya merenung. Allah memerintahkan umat-Nya untuk memberi manfaat bagi orang lain dan  itu termasuk ibadah. Jika kita ingin jadi umat yang bermanfaat tetapi belum punya kelebihan harta (untuk berdonasi besar-besaran), maka bisa dengan memberi sedekah tenaga.

Namun kalau sudah sedekah tenaga jangan cuma itu aja ya. Maksudnya jika punya gaji bulanan atau keuntungan bisnis, tetap dialokasikan untuk sedekah uang 2,5%, kalau bisa 10%. Sedekah tenaga bisa melengkapi sedekah uang. Di bulan ramadhan ini selain sedekah kita juga memberi zakat dan merasakan 30 Hari Jadi Manfaat untuk sesama.

Hidup ini terlalu singkat jika berlalu begitu saja. Apakah kita sudah merasa bermanfaat bagi orang lain? Manusia adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup hanya untuk dirinya sendiri. Namun berikan sebagian untuk yang lain, dan contohnya adalah dengan sedekah tenaga. Dengan makin banyak memberi manfaaat bagi sesama maka hidup akan lebih damai.

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jadi Manfaat yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”




Minggu, 24 April 2022

Puasa di Hongkong dan Belanda, Seperti Apa Serunya?

 “Boleh puasa enggak?” Itu yang daku rasa ketika melakukan wawancara dengan seorang kawan yang pernah bekerja di Hongkong. Bagaimana tantangan saat puasa di luar negeri? Begitu juga dengan kawan lain yang bertahun-tahun tinggal di Belanda, ramadhannya gimana ya?

Sobat Bunda Saladin pernah merasakan puasa di luar negeri? Daku juga penasaran nih. Yuk kita simak hasil wawancara dengan Kak Ida Raihan (yang pernah puasa di Hongkong) dan Dek Arin Gayatri (yang puasa bertahun-tahun di Belanda).

Puasa di Hongkong, Lancar Bagai Jurusnya Jet Li

Kak Ida Raihan saat ini tinggal di Surabaya tetapi beberapa tahun lalu pernah kerja di Hongkong. Beliau cerita sebenarnya ramadhan biasa-biasa saja, juga bersyukur karena diperbolehkan puasa oleh boss. Eh beneran lho daku pernah baca di sebuah buku kalau rata-rata boss di sana melarang puasa karena takut karyawannya kecapekan, bahkan meninggal!

                                                        Sumber foto: IG @Idaraihan

Kak Ida bersyukur karena dapat kemudahan berpuasa. Apalagi durasi puasa juga relatif singkat, malah lebih awal sedikit daripada di Indonesia. Subuh kadang baru muncul jam 5 pagi lalu maghribnya juga jam 5 sore. Puasa di luar negeri walau jadi minoritas ternyata diberi kemudahan, alhamdulillah.

Untuk sahur juga enggak masalah karena Kak Ida jarang bangun sahur, jadi mengakalinya dengan makan sebelum tidur. Saat berbuka juga cukup minum susu kedelai dan makan snack. Benar-benar woles karena jam makan malam sang bos sekitar pukul 20:00.  Wah senangnya karena bisa buka puasa di luar negeri dengan lancar.

                                                            Sumber foto: Pexels
                                                

Ada satu kejadian lucu saat berpuasa di Hongkong. Kak Ida menjelaskan ke boss kalau baru boleh berbuka saat matahari tenggelam. Jam 9 pagi sang boss teriak-teriak, ternyata matahari tertutup awan, jadi dikira sudah boleh berbuka. Wkwkwk.

Ramadhan Asyik di Belanda

Nah kita geser ke Eropa tepatnya di Amsterdam, Belanda. Arin Gayatri sudah stay di sana selama 11 tahun. Tantangan berpuasa di Belanda jauh lebih besar karena subuh jam 4:45 pagi sementara maghribnya jam 20:30. Cukup lama juga ya, lebih dari 15 jam.

                                                    Sumber foto: IG-nya Arin

Kenapa puasa di luar negeri lama? Ya karena jam subuh dan maghrib berbeda-beda kalau winter dan summer. Kita beruntung karena Indonesia negeri tropis jadi jam subuh dan maghrib relatif sama tiap tahun.

Back to Arin’s story. Karena maghribnya sudah malam maka isya’nya juga lebih lambat (jam 22:30) dan tarawih nyaris tengah malam. Arin baru bisa tidur nyaris jam 12 malam dan ketika bangun sahur penuh perjuangan karena jam 4 kudu melek. Wiih kebayang ngantuknya, mau enggak sahur juga durasi puasanya panjang banget.

                                                             Sumber foto: Pexels

Arin cerita waktu pertama kali puasa di Belanda, penuh perjuangan juga karena saat ramadhan sedang summer. Artinya matahari bersinar lebih lama dan maghrib baru jam 11 malam (nangis lah daku kalau puasa sampai jam segitu).

Bayangkan guys! Subuh jam 3 pagi dan maghrib jam 11 malam berarti puasanya total 20 jam. Diberkatilah mereka yang puasa di Belanda saat summer karena Allah yang menguatkannya. Apalagi isya’ baru jam 00:30 sehingga tarawih pun tengah malam. Sungguh tantangan puasa di luar negeri yang begitu besar.

Meskipun durasi puasa di Belanda luar biasa tetapi Arin tetap bersyukur karena lingkungannya mendukung. Cuaca juga tidak terlalu panas sehingga enggak kehausan. Namun ia kangen dengan suasana ramadhan di Indonesia dan terutama ketika sahur dan berbuka dengan keluarganya di Malang.

 Kalau baca pengalaman 2 kawan yang puasa di luar negeri rasanya bersyukur ya bisa puasa di Indonesia. Namun mereka kuat banget bisa teguh beribadah walau jadi minoritas. Kalau kawan-kawan ada yang pernah merasakan ramadhan di luar negeri?

Kamis, 21 April 2022

Kegiatan yang Bisa Dilakukan di Hari Kartini Tanpa Fashion Show Berkebaya

 Selamat hari Kartini! Bestie, apa masih hafal lagu ibu kita kartini, putri sejati? Sebagai seorang princess maka wajar jika Kartini digambarkan dengan sanggul, kebaya, dan kain jarik. Akhirnya dari tahun ke tahun hari Kartini selalu dimeriahkan dengan fashion show berkebaya.



Padahal hari Kartini bukan sekadar memperingati cara beliau berpakaian. Seharusnya yang ditonjolkan adalah kesetaraan gender karena ajarannya menggambarkan emansipasi. Bukannya berlenggak-lenggok dengan kebaya, karena yang penting adalah isi otak, bukan hanya gincu dan celak. Sebenarnya ada banyak cara untuk memperingati hari kartini tanpa kebaya tetapi tetap menggambarkan perjuangannya.



1.  Lomba Mendengarkan Curhatan

Manusia punya dua telinga dan hanya satu mulut. It means, kita memang sebaiknya lebih banyak mendengar daripada berbicara, ya enggak bestie? Coba deh seru-seruan bikin acara lomba mendengarkan curhatan. Pemanangnya dapat hadiah minyak goreng, eh tapi kalau anggaran terbatas bisa kasih minyak goreng dalam kemasan gelas wkwkkw.

2. Menyumbangkan Buku dan Majalah

Daripada numpuk dan dimakan rayap, keluarin deh koleksi majalah dan buku yang numpuk di rak. Sumbangin aja ke taman baca atau ke anak-anak yang membutuhkan. Kartini masa kini pduli dengan anak-anak yang kadang di rumahnya Cuma punya buku tulis dan LKS.

3. Lomba Tidak Menyentuh HP dan Gadget Lain

Masih mau challenge? Coba bikin lomba tidak menyentuh HP atau gadget lain. Tentu wajib di hari libur ya biar lancar dan bukannya kelabakan karena dicariin pak boss. Cara ini bisa mengurangi kebiasaan scrolling medsos terlalu lama.  Hadiahnya juga terserah, bisa voucher belanja atau minimal gula 500 gram buat bikin kolak.

4. Memasak Takjil Lalu Dibagikan

Kartini masa kini kalau enggak bisa mengajar seperti ibu Kartini yang asli bagaimana? Don’t worry be happy, Kartini bisa bantu sesama dengan membagikan takjil. Sesuai dengan kemampuan saja, kalau anggarannya terbatas ya bikin 5 cup es blewah (misalnya) lalu ditaruh di masjid untuk takjil jamaah.

5. Lomba Memasak Tanpa Minyak

Harga minyak mahal? Bikin saja lomba masak tanpa minyak dalam lingkup RT. Para ibu berubah bagai peserta master chef dengan sutil andalan. Nanti kita bisa nyontek resep semur atau masakan lain yang dibuat tanpa minyak.

Bagaimana, hari kartini sudah ikut lomba atau lempeng-lempeng aja? Yuk jadi kartini modern yang enggak hanya cantik tetapi juga suka tantangan dan hobi berbagi pada sesama.

Sabtu, 02 April 2022

Melawan Stigma Negatif bagi Pasien Kusta dan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome

        Teman-teman apa pernah dengar tentang penyakit kusta? Dulu tuh tahu penyakit ini dari iklan layanan masyarakat di TV. Jadi sedikit paham kalau kusta itu penyakit kulit yg bisa disembuhkan, jadi penderitanya tak usah dijauhi.

Nah, sebenarnya apa itu kusta? Menurut wikipedia, kusta (yang dulu dikenal dengan nama lepra) adalah penyakit yang menyerang saraf kulit. Penyebabnya adalah bakteri mycrobacterium leprae. Ada 2 jenis kusta yakni basah dan kering. namun jangan khawatir karena bisa diobati agar lekas sembuh.

 Live Streaming tentang Stigma Negatif Kusta dan Down Syndrome

Tanggal  30 maret 2022 jam 9-10 pagi saya menyimak live streaming di channel Youtube Berita KBR, yang bertema melawan stigma untuk dunia yang setara. Narasumbernya ada 2 yakni dokter Oom Komariah, M.Kes dan Uswatun Khasanah.



Acara dipandu dengan sangat baik oleh MC Ines Nirmala. Dari awal yang memaparkan tentang kusta adalah Uswatun (yang akrab dipanggil Uswa). Dia pernah kena kusta saat berusia 14 tahun dan saat ini sudah 25 tahun.



Uswa menjelaskan kalau dulu kulitnya jadi bercak-bercak bahkan mati rasa gara-gara kusta. Untung untuk pengobatannya bisa langsung ke Puskesmas dan obat-obatnya cukup lengkap. Meski proses pengobatannya sampai 12 bulan karena termasuk kusta basah. sedangkan kusta kering hanya butuh 6 bulan proses penyembuhan.

Jadi, kalau mau sembuh dari kusta ya harus telaten periksa dan minum obat. Selain itu wajib positive thinking, makan makanan bergizi, dan olahraga.



Saat kena kusta, Uswa bersyukur karena didukung penuh oleh keluarganya. Support system ini penting banget karena masih ada saja stigma negatif bagi pasien kusta di mata masyarakat. Ada yang biang kusta itu kutukan atau karena hal ilogis lain, padahal murni penyakit medis akibat virus.

Bagi yang kena kusta bisa saja ada yang mengucilkan, membully, dll. Padahal mereka butuh dukungan, dan saat ada yg menghina malah stress berat dan akhirnya berpengaruh ke proses penyembuhan. Stigma negatif ini yang harus kita ubah.

 Melawan Stigma Negatif bagi Anak Down Syndrome dan Orang Tuanya

Selain melawan stigma bagi pasien kusta, di acara ini pemirsa juga diajak untuk melawan stigma negatif bagi anak down syndrome dan keluarganya. Dokter Oom Komariah, M.Kes sebagai Ketua POTADS (persatuan orang tua anak dengan down syndrome) jadi narasumber berikutnya.

            Dokter Oom memaparkan beliau amat shock ketika tahu anaknya lahir dengan down syndrome. Meski tahu teorinya tetapi langsung blank ketika mendapatkan diagnosa. Namun untungnya fase denial ini berlangsung tidak terlalu lama.



Dokter Oom berusaha bangkit dan mendidik anaknya dengan baik. Beliau cari komunitas dan akhirnya terbentuk POTADS. Sekarang sudah ada sepuluh cabangnya di Indonesia, jadi tidak usah jauh-jauh ke Jakarta. Orang tua dengan anak down syndrome bisa langsung ke cabang POTADS terdekat.

Komunitas memang amat penting dan dokter Oom berpesan ke orang tua dengan anak down syndrome untuk bergabung di komunitas. Nanti selain bisa curhat tentang anaknya, juga diarahkan. Jangan malah diam saja.

Kenyataan pahitnya jika orang tua pasif maka perkembangan anak down syndrome makin lambat. Karena kondisi mereka yang istimewa maka ada kelambatan pertumbuhan, dan jika dibiarkan saja maka ada yang sudah usia 7 tahun tetapi belum bisa berjalan kaki, sedih deh.

  Orang tua juga harus cepat bawa anak down syndrome-nya ke dokter spesialis anak, karena mereka biasanya punya penyakit bawaan seperti jantung. Jika sudah diperiksa maka akan ditangani sehingga anak down syndrome tetap sehat.

Kembali lagi ke POTADS, orang tua bisa gabung ke sana karena banyak manfaatnya. Di POTADS ada Rumah Ceria yang memberikan pelatihan bagi anak down syndrome. Bahkan ada yang dilatih jadi barista. Bukan hanya pelatihan tetapi mereka juga diajak olaahraga renang, karate, dll. Bila masyarakat atau para orang tua yang memerlukan informasi terkait POTADS bisa melalui nomor kontak admin POTADS di 08129637423.

Stigma negatif untuk anak down syndrome dan orang tuanya, serta pasien kusta, memang harus dihapus. Dunia butuh kesetaraan, karena jika saling bully akan terjadi kekacauan sosial. Mari bergandengan tangan dan toleransi dan lebih ramah, serta membuang jauh-jauh tiap stigma negatif.

 


Jumat, 01 April 2022

Puasa Pertama di Rumah Mertua, Asoy Geboy!

Puasa sangat istimewa apalagi puasa pertama karena tubuh kita beradaptasi dan jam makan berubah drastis. Biasanya jadi ngantuk karena lemas, dan paling enak tuh bobok siang sambil kipas-kipas di rumah.


Namun kalau puasanya di rumah mama mertua apa masih bisa santai kayak di pantai? Ooh jangan bayangin yang seram dulu, kawan! Ini pengalaman daku saat puasa pertama di rumah mama mertua, beberapa tahun lalu.


Kami (daku, suami, dan anak) rutin menginap di rumah mertua, minimal sebulan sekali. Nah pas banget jadwal nginapnya sehari sebelum ramadhan. 


Malamnya dilalui dengan aman tapiii... Begitu bangun langsung shock karena sudah hampir jam 4 pagi! Wah apa sudah imsak?


Segera kubangunkan suami dan kami bergegas cuci muka dan gosok gigi baru pergi ke ruang makan. Daku udah takut kena semprot mama mertua karena kesiangan.


Ternyata alhamdulillah beliau langsung ngasih piring berisi telur ceplok, dan setelah itu menawarkan segelas teh hangat. Mama mertua, sungguh mulia. 


Kami akhirnya makn cepat-cepat (untung gak keselek) dan untung setelah itu langsung imsak. Sahur pun terselamatkan berkat kebaikan mama mertua.


Siangnya mata sudah kriyep-kriyep. Mau ngeloni anak kok sungkan karena mama mertua masih kerja (jualan buah dan lapaknya di depan rumah).


Beliau malah kaget melihatku mebgantuk. "Sudah, tidur saja dulu sekalian ngajak Saladin (putraku) tidur siang. Mama juga sebentar lagi tutup lapak, mau istirahat juga.


Alhamdulillah hanya 'disuruh' tidur siang. Padahal sebelumnya sudah bayangin bakal diajak menyiram bunga atau yang lain. Karena beliau emang enggak bisa diam, ada saja yang dikerjakan ealau puasa. Seperti merajut taplak atau menjahit celana untuk diberikan ke cucu-cucunya (yang memang cowok semua).


Sorenya juga daku merasa diistimewakan (atau memang jadi menantu tak tahu malu wkwk) karena dilarang membantu mama mertua masak untuk berbuka. Pas sudah azan maghrib rasanya alhamdulillah. Walau hanya tempe goreng, tumis genjer, dan takjil es blewah rasanya nikmat.


Begitulah pengalaman puasa pertama di rumah mertua. Beruntung punya mertua super baik jadi enggak baper eeh maksudnya bisa puasa lancar dan enggak canggung walau puasanya enggak di rumah sendiri. Bagaikana dengan puasa pertamamu?