Lagi viral bahas tentang “kesenjangan sosial” di media sosial. Bagaimana lagi, kita hidup di lingkungan yang heterogen dan tentu punya latar belakang keuangan yang berbeda-beda. Saat bergaul akan memunculkan kesenjangan sosial, yang mengejutkan dan kadang bikin miris.
Tapi daku sih tipe yang
cuek-bebek ya, ke mana-mana naik angkot, ojek, atau jalan kaki. Ada sepeda
motor tapi gak bisa mengendarai. Baru pas punya anak naik taksi online. Jika ada kesenjangan sosial maka
diterima dengan lapang dada.
Ceritaku
Mengenal Kesenjangan Sosial
Mau cerita dulu, daku
datang dari keluarga menengah yang Alhamdulillah masih bisa makan, dan
bertahun-tahun belajar di sekolah negeri. Nah waktu SD, sekitar tahun 1997 (ketahuan
umur, wkwkwk), dulu pernah viral mainan game watch (anak SD menyebutnya
gembot). Juga ada tamagotchi yang katanya seru karena bisa punya peliharaan
virtual.
Ada juga sepatu keren
yang ketika diinjak, lampunya bisa menyala. Apa daku punya tamagotchi dan
sepatu itu? Kagak!
Sampai SMP kehidupan
masih biasa-biasa saja. Malah dulu juga bingung (saat tahap awal mengenal
kesenjangan sosial). Mengapa ada murid lain yang pulang sekolah jalan kaki,
padahal rumahnya berjarak sekitar 3 KM? Ternyata hemat ongkos! Tidak usah naik
mobil angkot 2 kali.
Kesasar
di SMA Artis
Waktu SMA baru deh
kelihatan banget kesenjangan sosialnya. Banyak murid yang ke sekolah bawa mobil
sendiri. Bahkan harganya jauh lebih mahal daripada mobil pak / bu guru. Selain
itu, mereka pada pakai sepatu sport bermerek
terkenal (yang logonya 3 garis ituu).
Yaa namanya juga
sekolah di SMA artis. Kanan-kiri cantik dan tampan. Kalian tahu Andika Pratama?
Atau Mey Chan (Dita) yang pernah jadi vokalisnya Bunda Maia? Mereka adalah
teman seangkatanku (tapi tidak pernah sekelas).
Kesenjangan
Sosial di Masa Dewasa
Saat sudah bekerja dan
menikah maka kesenjangan sosial bisa terpampang nyata. Mulai dari yang menikah
di gedung vs yang di rumah, periksa kandungan di dokter mana, baju merek apa
untuk bayi, dll. Rasanya? Hmmm, daku berada di tengah-tengah dan bodo amat
dengan penilaian orang lain yang menyayangkan keputusan mengapa harus belanja
merek tertentu.
Lantas kalau ada yang
nyinyir karena merasa jadi korban kesenjangan sosial? Cuekin aja! Lha dia saja
yang merasa jadi korban alias playing
victim. Misalnya kita nih habis upload
foto di IGS tentang pengalaman periksa di klinik tertentu. Ehh malah
dibalas gini: Buat apa ke sana, sakit mending beli obat di warung. Yaa siapa
eluu? Bidi imit….
Hubungan
Antara Kesenjangan Sosial dan FOMO
Istilah FOMO (fear of missing out) belakangan ini juga
sedang viral. Misalnya saat ada konser artis luar negeri. Ternyata tidak semua
penonton paham lagu-lagunya. Ada yang nonton demi terlihat keren dan dia takut
untuk dinilai sebagai orang yang tidak “gaul” karena tidak menyimak konser itu
(walau bayarnya mahal).
Apa hubungan antara
FOMO dan kesenjangan sosial? Yaa bisa dilihat lah, yang mudah FOMO adalah kaum
yang biasanya (maaf) masih menengah ke bawah. Mereka bela-belain nonton konser
musik mahal, beli barang branded,
atau melakukan hal-hal yang di luar jangkauan dompet. Hanya demi terlihat
kaya-raya.
Kesenjangan sosial
memang menyakitkan bagi sebagian orang. Lalu mereka merasa malu menjadi
‘miskin’ (dalam anggapannya sendiri). Lantas nekat berbuat hal negatif seperti
pinjam uang ke P1Nj0L hanya untuk memenuhi nafsu FOMO-nya.
Sudahlah, kesenjangan
sosial adalah hal yang wajar. Jangan malu jika masih berada di level menengah
(atau ke bawah). Jangan malah nekat pnjl atau malah melakukan tindakan kriminal
demi “uang panas”, yang digunakan hanya untuk terlihat keren. Bagaimana
menurutmu, sobat Bunda Saladin?
Jaman saya SMA terasa banget sih, yang the have lebih suka ngumpul sesama mereka. Kita rakyat jelata yang ngumpulnya juga sesama :D
BalasHapusIni penyakit zaman modern....
BalasHapusKaalu aku gak terlalu mentingin merek tertentu saat beli barang atau apapun yang penting suka dan nyaman digunakan
BalasHapus