Sabtu, 20 Desember 2025

Mengapa Ibu Menangis di Malam Hari?

 

Tetes demi tetes air mata membasahi pipi. Di keheningan malam, anak-anak sudah terlelap. Sang ayah masih lembur di kantor. Sementara sang ibu bergulat dengan emosi negatif, tangisannya belum berhenti sampai ketenangan datang kembali.

Pernahkah para ibu menangis sendirian di malam hari? Ketika semua sudah tidur, perasaan berkecamuk dan hati pun sesak. Hanya bisa berdoa dan berharap akan pertolongan dari Sang Maha Kuasa.



Tangisan ibu sebenarnya bukan tanda kelemahan. Karena kita tidak bisa selalu ceria, bukan? Kadang butuh air mata untuk meluluhkan emosi negatif di dalam dada. Lantas mengapa banyak yang menangis dalam malam yang senyap?

Merasa Bersalah

Jujur sebenarnya pekerjaan sebagai ibu itu sangat tidak mudah karena dikerjakan selama bertahun-tahun. Tak hanya memastikan anak mengkonsumsi makanan bergizi dan memantau pendidikannya. Tapi para ibu juga berjuang agar anak tumbuh menjadi orang yang tahu sopan-santun dan taat pada aturan agama.



Dalam prakteknya, ibu bisa saja khilaf dan marah besar ketika anak tidak sengaja menumpahkan minuman. Ada juga yang tidak sengaja mencubit paha putranya karena dia malas disuruh mandi sore.

Kemudian di malam hari, dia menyesal karena melakukan hal yang menyakitkan fisik dan hati, padahal anak-anak adalah buah hati tersayang. Penyesalan itu hadir diiringi tangisan yang mendalam.

Lelah Secara Mental

Ibu juga bisa lelah secara mental karena mengurus semuanya sendiri, karena tidak punya asisten rumah tangga. Belum lagi ketika bayinya rewel, atau menghadapi tetangga yang resek.



Hati-hati lho, jika lelah mental dan menangis lebih dari seminggu berturut-turut, carilah pertolongan profesional. Datang ke psikolog atau psikiater bukan berarti ibu sudah gila. Tapi merupakan cara untuk mengembalikan kesehatan mentalnya.

Kurangnya Support System

Seperti yang sudah daku sebut di atas, tidak semua suami bisa menyediakan asisten rumah tangga, atau memberi uang ekstra untuk bayar laundry dan katering. Akhirnya sang istri jadi berjibaku, di dapur, di kamar, dan di kantor.



Kurangnya support system tentu membuat ibu kelelahan. Pulang kantor harus memasak demi penghematan. Padahal habis terjebak macet dan ingin goleran sebentar saja. Penumpukan rasa lelah tentu memunculkan tangisan, sampai kapan keadaan ini terjadi?

Read: Jadi Ibu yang bahagia, bukan yang sempurna

Daku tidak bilang “sabar” karena semua ibu pasti sudah bermodal kesabaran. Tapi memang wajib ada solusi jika memang belum ada support system yang butuh uang.



Misalnya ibu bisa memasak beberapa menu untuk seminggu lalu disimpan di freezer, jika akan makan baru dihangatkan. Anak-anak juga dididik untuk mandiri sehingga bisa mencuci piring dan membantu memasukkan baju kotor ke mesin cuci.

Self Love?

Beberapa kali daku membaca utas di sosial media, ketika ada ibu yang ingin beli jajan atau ngopi-ngopi cantik di kafe, tapi batal karena memikirkan anaknya. Mau beli baju tidak jadi, malah beli sepatu dan tas untuk anaknya. Lalu kapan ibu bisa bahagia kalau kebutuhannya sendiri selalu diabaikan?

Jangan lupa me time yaa. Self love bukan salah satu bentuk keegoisan. Tapi sebagai cara untuk tetap waras. Ibarat teko, harus diisi air baru bisa mengeluarkan ke cangkir-cangkir. Jadi tangki cinta ibu wajib diisi, salah satu caranya dengan mencintai diri sendiri.



Self love tak harus mahal kok. Bisa dengan ngopi sendirian saat anak-anak sudah berangkat sekolah, atau makan mie instan ketika mereka sudah tidur. Usahakan di rumah juga pakai baju yang pantas (bukan daster bolong yang bau), pakai sunscreen, dan jangan lupa senyum.

Menjadi ibu adalah pekerjaan yang nyaris seumur hidup dan membutuhkan komitmen yang sangat tinggi. Juga pikiran, perasaan, dan berbagai hal lain, demi kesehatan fisik dan mental anak-anak. Tapi jangan terlalu sering berkorban (dengan alasan anak) dan wajib cintai diri sendiri, agar tidak melulu menangis di malam hari.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar