Siapa suka baca tulisan (Alm) NH Dini? Beliau adalah novelis
yang sangat produktif dan sudah menerbitkan lebih dari 10 buku. Pasti kita
sudah baca minimal 1 karya beliau yang biasanya ada di perpustakaan sekolah.
Kali ini daku mau menceritakan sekilas isi buku Bu Dini yang
berjudul Padang Ilalang di Belakang Rumah. Buku ini tidak terlalu tebal
sehingga bisa dibaca sekali duduk. Ini bukan novel tapi semacam memoar pribadi,
kalau kata beliau: cerita kenangan.
Pada akhir masa penjajahan Belanda, penduduk Indonesia,
khususnya di Semarang, bergembira. Akan tetapi mereka kaget karena kedatangan
tentara Jepang yang lebih be-ngis. Contohnya saat kumpulan tentara itu datang
ke halaman belakang rumah Pak Salyo (ayah NH Dini), langsung merusak sebagian
pembatas tanpa rasa bersalah.
Masa perang membuat semuanya muram. Saat ada kekacauan dan
penembakan maka penduduk bersembunyi di rumah, dan mematikan semua lampu.
Tujuannya agar tidak kena peluru nyasar. Syukurlah kor-ban-nya 'hanya' hewan
peliharaan, bukan manusia.
Peperangan juga membuat masyarakat pusing. Harga bahan makanan
merambat naik sedangkan nilai uang makin kecil. Untuk mendapatkan sembako
berkualitas jelek saja mereka harus mengantri lama.
Akan tetapi NH Dini tak hanya menggambarkan kesedihan saat
perang. Di buku Padang Ilalang di Belakang Rumah lebih banyak cerita bahagia
daripada sedihnya. Misal ketika Dini kecil bisa bebas bermain di kebun di area
rumah, dan memanen buah-buahan sampai puas.
NH Dini juga mengisahkan sepenggal cerita keluarganya ketika
mbak sulungnya, Heratih, akan menikah. Berawal dari perkenalan dengan tunangan
sang kakak, lalu beliau diajak pergi ke Kota Gajah di Jawa Tengah. Di sana ada
pasar ikan yang bersih, dan pohon kelapa kopyor yang menyenangkan, karena
berarti mereka bisa minum es kopyor sepuasnya.
Cerita berlanjut saat adik sepupu NH Dini lahir dan ia gembira
karena punya 'boneka hidup ' yang lucu. Akan tetapi muncul problem (yang
terlihat enteng bagi orang dewasa tapi besar bagi anak kecil). Dini harus
menginap di rumah sang paman untuk menemani sepupunya, tapi makan siang baru
dihidangkan jam 2 siang! Dengan alasan jam segitu tuan rumah baru pulang dari
kantor.
Masalah itu selesai dengan cakap karena Dini nekat pulang dan
mengadu ke ibunya. Beberapa hari kemudian sang paman mengimbau iparnya (yang
dipercaya untuk mengasuh anak-anak) untuk menghilangkan makan siang sesaat
setelah Dini pulang sekolah. Di sini diperlihatkan bahwa lelaki memang tidak peka,
urusan makan keponakan saja harus ditegur, padahal beliau yang meminta Dini
untuk tinggal sementara dengan keluarganya.
Read: Review Pondok Baca: Kembali ke Semarang
Satu hal yang membuatku berpikir di buku Padang Ilalang di
Belakang Rumah adalah kebiasaan keluarga zaman dulu untuk memanggil anak bukan
dengan nama sebenarnya. Misalnya Mbak Heratih Siti Latifah panggilannya Pah
(dari nama Latifah) dan jadi 'tampah'. Sedangkan Dini dipanggil 'Puk', berasal
dari kata tumpuk, karena saat beliau lahir sang ayah mendapatkan rezeki yang
bertumpuk-tumpuk.
Jika panggilan dengan nama 'aneh' ini dianggap lucu oleh
keluarga zaman dulu maka di era sekarang bisa dianggap perundungan. Bagaimana
bisa seorang ibu memanggil nama anaknya dengan nama benda, karena teringat akan
kemiripan fisik si bocah? Kalau daku digitukan ya jelas ngamuk!
Read: Review Gunung Ungaran, Novel Terakhir NH Dini
Kemudian di buku Padang Ilalang di Belakang Rumah juga
digambarkan suasana Kota Semarang zaman dulu. Di mana di sore hari, para
pedagang membuka lapak di pinggir jalan. Salah satunya adalah penjual bunga
yang dagangannya dibeli oleh Bu Salyo (ibunya Dini), karena besok hari weton
anaknya.
Apakah di zaman sekarang orang tua masih mengingat weton anaknya
lalu menaruh bunga melati, mawar, dan kenanga di bawah kasur? Entahlah. Mungkin
karena dulu belum ada pengharum ruangan berbentuk semprotan. Tapi mengapa harus
ditaruh saat wetonnya?
Buku Padang Ilalang di Belakang Rumah memiliki setting waktu 80
tahun lalu, sehingga hal nama panggilan 'lucu' dan bunga yang ditaruh saat
weton anak mungkin sudah tidak relevan. Akan tetapi patut dibaca untuk menambah
pengetahuan di masa lalu. Buku ini ditulis dengan mengalir dan pembaca bisa
seolah-olah jadi tokoh 'aku' alias NH Dini kecil, yang hidup bahagia walau ada
di tengah peperangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar