Rabu, 13 Agustus 2025

Padang Ilalang di Belakang Rumah, Secuplik Masa Kecil NH Dini

 Siapa suka baca tulisan (Alm) NH Dini? Beliau adalah novelis yang sangat produktif dan sudah menerbitkan lebih dari 10 buku. Pasti kita sudah baca minimal 1 karya beliau yang biasanya ada di perpustakaan sekolah.

 

 

Kali ini daku mau menceritakan sekilas isi buku Bu Dini yang berjudul Padang Ilalang di Belakang Rumah. Buku ini tidak terlalu tebal sehingga bisa dibaca sekali duduk. Ini bukan novel tapi semacam memoar pribadi, kalau kata beliau: cerita kenangan.

 

 Pada akhir masa penjajahan Belanda, penduduk Indonesia, khususnya di Semarang, bergembira. Akan tetapi mereka kaget karena kedatangan tentara Jepang yang lebih be-ngis. Contohnya saat kumpulan tentara itu datang ke halaman belakang rumah Pak Salyo (ayah NH Dini), langsung merusak sebagian pembatas tanpa rasa bersalah.

 

 Masa perang membuat semuanya muram. Saat ada kekacauan dan penembakan maka penduduk bersembunyi di rumah, dan mematikan semua lampu. Tujuannya agar tidak kena peluru nyasar. Syukurlah kor-ban-nya 'hanya' hewan peliharaan, bukan manusia.

 

Peperangan juga membuat masyarakat pusing. Harga bahan makanan merambat naik sedangkan nilai uang makin kecil. Untuk mendapatkan sembako berkualitas jelek saja mereka harus mengantri lama.


 Akan tetapi NH Dini tak hanya menggambarkan kesedihan saat perang. Di buku Padang Ilalang di Belakang Rumah lebih banyak cerita bahagia daripada sedihnya. Misal ketika Dini kecil bisa bebas bermain di kebun di area rumah, dan memanen buah-buahan sampai puas.

 

 NH Dini juga mengisahkan sepenggal cerita keluarganya ketika mbak sulungnya, Heratih, akan menikah. Berawal dari perkenalan dengan tunangan sang kakak, lalu beliau diajak pergi ke Kota Gajah di Jawa Tengah. Di sana ada pasar ikan yang bersih, dan pohon kelapa kopyor yang menyenangkan, karena berarti mereka bisa minum es kopyor sepuasnya.

 

 Cerita berlanjut saat adik sepupu NH Dini lahir dan ia gembira karena punya 'boneka hidup ' yang lucu. Akan tetapi muncul problem (yang terlihat enteng bagi orang dewasa tapi besar bagi anak kecil). Dini harus menginap di rumah sang paman untuk menemani sepupunya, tapi makan siang baru dihidangkan jam 2 siang! Dengan alasan jam segitu tuan rumah baru pulang dari kantor.

 

 Masalah itu selesai dengan cakap karena Dini nekat pulang dan mengadu ke ibunya. Beberapa hari kemudian sang paman mengimbau iparnya (yang dipercaya untuk mengasuh anak-anak) untuk menghilangkan makan siang sesaat setelah Dini pulang sekolah. Di sini diperlihatkan bahwa lelaki memang tidak peka, urusan makan keponakan saja harus ditegur, padahal beliau yang meminta Dini untuk tinggal sementara dengan keluarganya.

 

Read: Review Pondok Baca: Kembali ke Semarang

 

Satu hal yang membuatku berpikir di buku Padang Ilalang di Belakang Rumah adalah kebiasaan keluarga zaman dulu untuk memanggil anak bukan dengan nama sebenarnya. Misalnya Mbak Heratih Siti Latifah panggilannya Pah (dari nama Latifah) dan jadi 'tampah'. Sedangkan Dini dipanggil 'Puk', berasal dari kata tumpuk, karena saat beliau lahir sang ayah mendapatkan rezeki yang bertumpuk-tumpuk.

 

 Jika panggilan dengan nama 'aneh' ini dianggap lucu oleh keluarga zaman dulu maka di era sekarang bisa dianggap perundungan. Bagaimana bisa seorang ibu memanggil nama anaknya dengan nama benda, karena teringat akan kemiripan fisik si bocah? Kalau daku digitukan ya jelas ngamuk!

 

Read: Review Gunung Ungaran, Novel Terakhir NH Dini

 Kemudian di buku Padang Ilalang di Belakang Rumah juga digambarkan suasana Kota Semarang zaman dulu. Di mana di sore hari, para pedagang membuka lapak di pinggir jalan. Salah satunya adalah penjual bunga yang dagangannya dibeli oleh Bu Salyo (ibunya Dini), karena besok hari weton anaknya.

 

 Apakah di zaman sekarang orang tua masih mengingat weton anaknya lalu menaruh bunga melati, mawar, dan kenanga di bawah kasur? Entahlah. Mungkin karena dulu belum ada pengharum ruangan berbentuk semprotan. Tapi mengapa harus ditaruh saat wetonnya? 

 

 Buku Padang Ilalang di Belakang Rumah memiliki setting waktu 80 tahun lalu, sehingga hal nama panggilan 'lucu' dan bunga yang ditaruh saat weton anak mungkin sudah tidak relevan. Akan tetapi patut dibaca untuk menambah pengetahuan di masa lalu. Buku ini ditulis dengan mengalir dan pembaca bisa seolah-olah jadi tokoh 'aku' alias NH Dini kecil, yang hidup bahagia walau ada di tengah peperangan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar