Senin, 17 Maret 2025

Punya Anak Memang Semahal Itu?

 Kemarin daku melihat selebaran berisi biaya SPP dan uang gedung di sebuah sekolah. Setelah meneliti angka-angka itu rasanya langsung keselek. Penyebabnya karena uang gedung mencapai puluhan juta rupiah, sedangkan SPP-nya hampir 8 juta rupiah.

                                          Unsplash

Biaya sekolah memang semakin naik-naik ke puncak gunung, ya! Belum termasuk untuk beli seragam, sepatu, ongkos transportasi, dll. Ini baru untuk sekolah (yang wajib dipersiapkan orang tua dalam jangka panjang ketika baru punya anak).

Orang tua juga wajib memikirkan biaya lain sejak ananda masih bayi: untuk beli baju, popok, topi, gendongan, baby box, tisu basah, dll. Juga masih ditambah uang untuk syukuran aqiqah yang nominalnya lumayan.

Kebutuhan Anak yang Semakin Banyak

Ketika anak lahir maka orang tua sibuk membelikan benda yang khusus untuknya. Misalnya piring plastik yang satu set dengan sendok dan gelas. Ada pula celemek yang dipakai saat makan, stroller, baby walker, dan blender untuk menghaluskan bahan MPASI (makanan pendamping ASI), dll.

                                      Unsplash

Saat anak sudah balita maka kebutuhannya juga bertambah banyak. Mulai dari baju baru (karena pertumbuhannya pesat), sepatu, buku bantal, dll. Kalau dulu anak memakai baju lungsuran dianggap wajar, sekarang sudah jarang, karena memang tidak punya kakak / sepupu.

Kebutuhan anak yang semakin banyak itu dirasa wajar karena demi kenyamanan hidup. Apalagi zaman juga berubah sehingga standar kehidupan juga tidak bisa disamakan dengan 20-30 tahun lalu. Misalnya dulu kalau bikin MPASI cukup pakai saringan kawat dan ulekan, maka sekarang peralatannya makin beragam seperti blender, slow cooker, dll.

Akan tetapi, apakah punya anak memang mahal banget dan berbiaya puluhan juta rupiah per bulan? Gaji setara UMR belum cukup untuk membesarkan seorang anak karena memang dia menyedot biaya tinggi?

Punya Anak Itu Sangat Mahal?

Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari 2 orang selebgram yang bercerita kalau anaknya itu “mahal”. Selebgram A bilang kalau anaknya butuh puluhan juta rupiah per bulan karena ikut les gymnastic, bahasa asing, dan sekolah di TK elit. Sementara selebgram B juga bercerita kalau anaknya kursus matematika dan pelajaran lain dengan biaya jutaan rupiah.

                                                       Unsplash

Anak zaman now (walau bukan dari keluarga artis) juga mulai ikut les padahal masih piyik, misalnya les calistung dan bahasa inggris. Malah sekarang orang tua berlomba-lomba membelikan anaknya gadget terbaru. Alasannya karena kita ada di era teknologi informasi.

Jangan kaget kalau sekarang biaya masuk TK (atau playgroup) eksklusif bisa lebih mahal daripada biaya kuliah orang tuanya dulu. Bahkan ada penasehat keuangan yang menyarankan orang tua untuk menabung saat baru menikah. Jadi ketika anaknya masuk sekolah sudah punya “pegangan” uang.

                                   Unsplash

Kebutuhan anak yang dianggap wajar akhir-akhir ini adalah baju branded dan mainan impor. Apalagi kalau orang tuanya eksis di media sosial. Anak butuh outfit yang keren walau harganya menguras kantong.

Akhirnya banyak orang yang beranggapan kalau punya anak itu sangat mahal. Penyebabnya karena anak butuh biaya (di luar sekolah) dan nominalnya lebih dari 10 juta rupiah. Itu baru satu anak, kalau anaknya 2 atau 3 berarti tinggal dikalikan saja.

Keracunan Standar Sosial Media

Pertanyaannya, dengan kebutuhan anak yang semakin banyak, apakah tiap orang tua mampu membelikannya? Padahal jumlah orang kaya di negeri ini tentu lebih sedikit daripada masyarakat kelas menengah (atau menengah ke bawah). Berapa sih orang tua yang mampu membelikan anaknya 10 lego per bulan dengan alasan “sayang anak”?

                                     Unsplash

Jadi ibu-ibu, jangan keracunan standar sosial media. Kalau ada selebgram yang mengikutkan anaknya les gymnastic jangan ikutan FOMO (fear of missing out). Pertama, anak belum tentu cocok dengan kegiatan tersebut. Minatnya bahasa tapi dipaksa les coding dan robotik. Akibatnya anak jadi stress berat karena dipaksa.

Kedua, jika memaksakan diri maka akan membuat kantong bolong. Jangan sampai gara-gara berprinsip “anak harus mendapatkan yang terbaik” dan keracunan standar sosial media maka situasi keuangan keluarga jadi kacau-balau. Demi sekolah dan les yang mahal maka bela-belain berutang. Apalagi kena p1Nj0L, amit-amit, jangaan!

Mahal Belum Tentu Cocok

Ingat ya, standar anak “mahal” pada keluarga lain belum tentu cocok diterapkan ke keluarga sendiri. Mahal belum tentu cocok karena sekolah dan kursus anak seharusnya disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Jadi, lebih baik konsultasi ke psikolog dulu sebelum memasukkan anak ke suatu sekolah dan kursus.

                                                 Koleksi pribadi


 Anak yang tipe belajarnya kinestatik (seperti Saladin) lebih cocok belajar di sekolah alam yang banyak praktek daripada teori. Jadi daku tidak memaksanya masuk ke sekolah elit karena memang tidak cocok.

Begitu juga dengan anak yang lebih fokus jika belajarnya semi privat. Jangan masukkan ke SD yang jumlah siswanya sampai 30 orang per kelas. Dengan alasan sekolah itu mentereng.

Anak Tidak Butuh Kemewahan

Lantas apakah anak juga harus pakai barang branded setiap hari? Sebenarnya bayi atau balita belum mengerti perbedaan antara baju bermerek atau yang biasa saja. Jangan beli baju impor demi kelihatan keren, karena gengsi orang tuanya. Yang penting fungsinya, bukan harganya, bukan?

                                   Unsplash

Punya anak sebenarnya tidak semahal itu karena anak tidak butuh kemewahan. Toh mereka juga tidak tahu-menahu kalau foto dan videonya dijadikan konten demi kelihatan keren di sosial media. Mereka akan tetap ngiler dan gumoh di baju branded, dan semahal apapun pakaian itu akan kotor tanpa sengaja.

Sesuaikan dengan Kebutuhan

Lantas apakah berarti anak tidak butuh sekolah dan kursus yang mahal? Bukan begitu maksudnya. Sesuaikan saja dengan kebutuhan anaknya, jadi orang tua wajib mengobservasi tiap hari.

Jika anak sudah menunjukkan minat pada kitab suci maka bisa dimasukkan ke sekolah tahfidz. Kalau anaknya suka bahasa asing maka cari sekolah yang bilingual atau internasional. Tapi pastikan biaya sekolahnya masih sesuai dengan gaji orang tua.

                                      Pexels        

Begitu juga dengan kursus. Pastikan anak enjoy mengikuti les karena sebenarnya dia juga sudah capek (sekolahnya sampai sore, kan?). Memasukkan anak di 1-2 jenis kursus (misalnya berenang dan bahasa asing) kurasa sudah cukup, dan lagi-lagi pastikan biayanya masih on budget.

Ajarkan Sendiri

Alternatif lain, orang tua bisa mengajarkan sendiri ke anak. Misalnya untuk bahasa inggris diajari oleh sang ibu, mengaji diajari oleh ayah, dll. Jadi anak tetap dapat pengetahuan di luar sekolah tanpa membebani keuangan keluarga.

                                 Unsplash

Apakah orang tuanya harus expert? Sebenarnya tidak karena ilmu itu bisa dipelajari. Toh ada banyak tutorial di internet. Jadi orang tua bisa membuat kurikulum khusus saat mengajari anaknya bahasa asing dan pelajaran lain.

Kesimpulannya, punya anak memang butuh biaya banyak tapi tidak sampai menjulang. Banyak atau sedikitnya uang yang dikeluarkan oleh orang tua, demi mereka, sebenarnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan ananda. Orang tua juga jangan FOMO dan terlalu teracuni standar sosial media, yang bisa merusak keseimbangan neraca keuangan keluarga.

Minggu, 16 Maret 2025

Cara Mengajari Anak untuk Menerima Kegagalan

 Siapa yang tidak bangga ketika punya anak pintar? Sudah jago bahasa inggris dan matematika, sering menang lomba, ganteng / cantik, dll. Anak juga bahagia dengan hidupnya karena punya ritme hidup seperti ini: sekolah-les-pulang dan bersantai-malamnya belajar lagi. Tidak ada beban karena mereka punya masa kecil yang sangat indah.

                                               Unsplash

Akan tetapi, suatu hari ananda tersayang murung. Ternyata ia kalah dalam sebuah lomba, yang diadakan di sekolah. Dia langsung shock karena terbiasa menjadi pemenang. Tapi kali ini kalah telak. Air mata terus mengalir, dan dia jadi mengurung diri di kamar.

Peluk Anak

Sebagai orang tua, kita pasti ikut sedih ketika anak mengalami kegagalan. Apalagi ketika dia juga mengisolasi diri. Saat anak meratapi kegagalan dan tidak mau didekati, biarkan saja untuk sementara. Jangan dipaksa karena anak akan makin menolak perhatian orang tua. Nanti kalau sudah tenang pasti dia akan mau cerita sendiri.

                                       Unsplash  

Ketika anak sudah berhenti menangis, segera peluk dengan erat. Anak wajib paham bahwa orang tua akan mencintainya tanpa syarat, bahkan ketika dia mengalami kegagalan. Pelukan akan menenangkan dan membesarkan hatinya. 

Bagaimana jika anak bereaksi atas kegagalannya dengan kemarahan? Biarkan anak ngamuk lalu ketika dia sudah diam, peluk lalu usap kepalanya. Bisikkan di telinganya bahwa dia boleh bereaksi negatif saat gagal. Akan tetapi jangan marah yang berlebihan sampai menghina orang lain atau merusak barang-barang yang ada di rumah.

                                               Unsplash

Validasi emosi ini sangat penting ya. Karena ada anak yang beranjak dewasa lalu gampang trauma atau ke-trigger karena sejak kecil jarang divalidasi emosinya. Jadi, ketika anak sudah dimengerti, dia akan paham bahwa kesedihan dan kemarahan adalah jenis emosi.

Kegagalan Bukan Akhir dari Segalanya

Kalau anak sudah dipeluk, dia akan merasa nyaman. Nah, daripada sama-sama meratapi kegagalan, lebih baik makan bersama untuk menaikkan mood. Nanti habis makan anak biasanya akan lebih tegar dan mau menghapus air matanya.

Jika anak sudah kenyang maka baru dinasehati bahwa kegagalan adalah suatu hal yang wajar. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Dunia akan terus berputar walau anak belum berhasil, jadi tidak usah murung lagi.

Membesarkan Hati Anak

Anak memang awalnya bingung bagaimana cara menghadapi emosi negatif yang terjadi akibat kegagalannya. Akan tetapi lama-lama dia akan paham bahwa gagal adalah salah satu proses belajar. Jadi, tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan hatinya.

                                      Pexels

Sambil berduaan dengan anak, berpelukan dan cerita-cerita, maka kita bisa membesarkan hatinya dengan memberi contoh. Misalnya saat anak masih bayi dan belajar merangkak. Awalnya dia gagal untuk melakukannya, tapi lama-lama berhasil.

Anak akan takjub karena ternyata dulu dia pernah begitu tegar dalam menghadapi kegagalan. Dia belum memiliki rasa takut untuk mencoba hal baru dan mengembangkan motorik kasarnya. Jadi, ketika dia sudah agak besar, akan paham bahwa kegagalan adalah proses yang normal pada kehidupan manusia, dan tidak usah didramatisir.

Gagal? Coba Lagi

Sebagai orang tua, kita memang wajib mengajari anak untuk cepat move on dan tidak meratapi sebuah kegagalan. Penyebabnya karena kehidupan bergerak ke depan, bukan ke belakang. Jika kegagalan dibahas terus maka anak lama-lama jengah dan malas untuk ketemu orang tuanya.

Kalau gagal ya sudahlah. Toh masih ada kesempatan berikutnya. Anak wajib dimotivasi bahwa saat gagal maka dia wajib mencobanya lagi. Dia akan terus berusaha karena tidak mengenal rasa kapok (dalam konteks positif yaa).

Jangan Menyalahkan Diri Sendiri

Ketika anak belum menang maka seharusnya dia diajari untuk ikhlas. Bagaimana dengan orang tuanya? Wajib untuk legowo juga karena kekalahan ini adalah sebuah takdir. Toh sebelumnya anak sudah berusaha keras, walau hasil akhirnya belum memuaskan.

                                                 Pexels

Ingat ya ibu-ibu, jangan menyalahkan diri sendiri ketika anak gagal. Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri karena tidak akan mengubah keputusan juri (setelah lomba selesai).

Kalau dia “hanya” dapat juara harapan atau tidak menang sama sekali di perlombaan, mau bagaimana lagi? Cukup tenangkan hati dan jangan malah self blaming lalu menganggap diri ini sebagai ibu yang tidak mampu mengurus anak.

Perasaan negatif saat menyalahkan diri sendiri ketika anak mengalami kegagalan itu enggak enak, lho! Apalagi kalau berlarut-larut. Kalau ibunya mecucu lalu marah-marah maka mood anak juga ikut jelek. Apa mau ditegur suami gara-gara galau tiap hari dan lupa memberikan senyuman manis padanya?

Jangan Terlalu Menuntut

Jika ibu sudah berhasil menepis self blaming maka jangan pula terlalu menuntut anak. Saat dia kalah lomba malah dimarahi habis-habisan dan dihukum berat. Misalnya tidak boleh pakai gadget selama beberapa bulan, uang sakunya dipotong, dll.

                                       Pexels  

Anak yang terlalu dituntut untuk selalu berhasil maka akan menjauh dari orang tua. Padahal ibu dan ayah adalah sandaran anak, bukan? Kasihan banget anaknya, harus berprestasi setiap waktu. Dia akan berpikiran bahwa jika tidak memiliki gelar juara, maka tidak akan disayang.

Anak Sudah Berani Mencoba

Saat anak sudah berani ikut lomba, walau belum menang, sebenarnya adalah sebuah prestasi karena dia berani mencoba. Lebih baik gagal daripada tidak ikut kompetisi sama sekali dengan alasan takut kalah. Yang penting maju dulu, menang atau kalah urusan belakang.

Lagipula sebuah kompetisi memiliki banyak manfaat, bukan? Ketika anak mengikuti lomba, maka dia akan mendapatkan pengalaman baru, networking dengan peserta lain dan penyelenggara, dll. Anak akan ditempa mentalnya dan tidak takut akan kekalahan.

Liburan Bersama

Dalam rangka mengurangi rasa kesal maka ibu bisa mengajak seluruh anggota keluarga untuk liburan bersama. Misalnya dengan bermain di pantai atau sekadar piknik di taman kota. Liburan bisa meredakan ketegangan pasca lomba dan merekatkan bonding antar anggota keluarga.

                                                      Pexels

Berlibur bisa jadi stress release yang ampuh dan membuat anak jadi merasa disayang. Dia jadi paham bahwa ibu dan ayah tetap mendukungnya, walau dia belum bisa mempersembahkan kemenangan. Siapa yang suka traveling walau bukan di musim liburan?

Konsultasi ke Psikolog

Jika semua jalan sudah ditempuh tetapi anak masih murung sepanjang waktu, coba konsultasi ke psikolog. Nanti akan ditelaah dan dicari jalan keluarnya. Konsultasi ini penting demi kesehatan mental ibu dan anak.

Jangan biarkan anak meratapi kegagalan berlama-lama karena akan memiliki banyak efek negatif. Dia bisa malas sekolah, tidak mau bergaul, dll. Oleh karena itu kita butuh bantuan profesional seperti psikolog, agar anak bisa move on dan ceria lagi.

                                      Pexels




Anak wajib diajari untuk menerima kegagalan karena itu adalah proses belajar. Gagal itu biasa dan wajib diterima. Manusia tidak mungkin menang terus karena kita bukan robot. Maka, sebaiknya sejak kecil si bocah wajib dididik untuk tidak takut gagal.

Saat anak sudah bisa menerima kegagalan dia akan bertumbuh dan kelak menjadi orang dewasa yang tegar. Manusia yang bisa legowo akan keadaan dan tidak shock ketika usahanya belum berhasil. Yuk peluk dan motivasi terus anak agar bisa menerima kegagalan, agar ia menjadi pribadi yang lebih baik.

Sabtu, 15 Maret 2025

Apa Daku Sudah Menjadi Ibu yang Baik Untuknya?

Tiap ibu ingin anak mendapatkan yang terbaik. Mulai dari gizi yang mencukupi, sekolah yang bagus, baju yang layak, dll. Akan tetapi apakah yang kita berikan ke anak-anak sudah cukup baik? Apa mereka sudah bahagia lahir dan batin?

Well, postingan ini muncul karena curhatan seseorang di media sosial. Dia bertanya-tanya, apakah aku sudah menjadi orang tua yang baik? Penyebabnya adalah berat badan anaknya turun drastis padahal sudah diberi makanan bergizi.

                                          Daku dan Saladin

Setelah membaca curhatan itu daku juga mikir, apakah sudah menjadi ibu yang baik untuk Saladin? Ketika ada hal yang tidak sesuai harapan (misalnya dia sakit atau BB-nya turun), apakah daku sudah layak dipanggil ibu? Hei, mengapa jadi melankolis begini?

Dinamika Anak yang Tak Selalu Naik          

Sabar, tarik napas dulu. Tiap anak memang dipantau perkembangannya (melalui KMS atau grafik lain). Jadi bisa dilihat berapa tinggi dan berat badannya, kesehatannya, dll.

Akan tetapi kadang ada kejadian yang membuat grafiknya stagnan, bahkan turun. Misalnya si anak habis sakit, atau memang sedang GTM (gerakan tutup mulut). Lantas jadinya sedih, sudah berjuang masak yang bergizi eh BB anak malah turun.

                                Saladin

Tenang dulu, Ibuuu! Dinamika tinggi dan berat badan anak memang tak selalu naik. Kita tidak bisa menghindari faktor seperti penyakit, kelelahan, atau sebab lain. Yang paling penting anaknya sehat, bukan?

Jangan Salahkan Dirimu Sendiri

Ketika anak sedang sakit atau BB-nya turun, memang jadi ujian kesabaran. Akan tetapi jangan pernah salahkan dirimu sendiri. Blaming never solve the problem.

Tiap ibu sudah berusaha memberi makanan bergizi, mengajak anak untuk menjaga kebersihan, juga berolahraga. Jadi saat BB-nya belum sesuai harapan, jangan salahkan dirimu sendiri.

                                       Saladin

Mengapa ibu jadi menyalahkan diri sendiri? Yaa karena kebanyakan yang mengasuh anak adalah ibu (padahal seharusnya kompak dengan sang ayah). Ibu merasa bersalah karena anak belum sesuai harapan. Akibatnya dia merasa gak becus.

Alasan lain saat ibu menyalahkan dirinya sendiri adalah ketika dia berada di dalam kungkungan patriarki. Pernah enggak melihat anak kecil jatuh lalu yang disalahkan ibunya? Ketika nilai anak jelek maka yang disalahkan lagi-lagi ibunya. Memangnya semua salah ibu? Lantas apa saja peran ayah di dalam keluarga? Sedih buangeeet.

Selalu Berkeluh-kesah

Ketika ibu menyalahkan dirinya sendiri maka dia jadi teracuni oleh pikiran buruk dan akhirnya selalu berkeluh-kesah di media sosial. Ibu jadi mudah menangis, marah-marah, emosi, dll. Media sosial jadi sarana untuk menumpahkan isi hati.

                            Daku dan Saladin

Padahal kita tahu bahwa kebanyakan curhat atau over sharing di media sosial tidak bagus karena pertama, bisa menunjukkan kelemahan diri. Kedua, bisa berpotensi di-bully orang lain karena dianggap cengeng. Kemudian, kalau kebanyakan curhat juga bisa menularkan energi negatif, dan akhirnya menurunkan jumlah followers.

Teracuni Standar Sosial Media

Seorang ibu juga bisa menyalahkan dirinya sendiri karena sudah teracuni oleh standar di sosial media. Ketika ada profil anak lain yang masih balita sudah pandai bicara seperti orang dewasa. Ada juga anak jenius yang mahir matematika.

Alih-alih mengagumi, ibu jadi minder karena anaknya terlihat biasa-biasa saja. Nilainya standar dan dia belum menang lomba manapun. Akhirnya ibu jadi menyalahkan diri sendiri karena merasa kurang mengajari anak agar ia bisa meraih prestasi.

                                           Koleksi pribadi

Sedihnya ketika sosial media dulu diciptakan untuk mencari kawan lama dan berkenalan dengan orang baru, malah jadi ajang untuk kepoin kehidupan orang lain. Sosial media bisa jadi toksik ketika kita tuh terlalu melihat prestasi orang lain lalu menyalahkan diri sendiri. Bukannya jadi terinspirasi atau terpacu, malah jadi minder.

Ibu Sudah Melakukan yang Terbaik

Jadi ibu-ibu di manapun kalian berada, jangan pernah minder yaa! Biarkan saja apa yang ada di sosial media karena itu hanya sekilas kehidupan orang lain. Jangan malah menyalahkan diri sendiri saat punya anak yang biasa-biasa saja.

                                Saladin

Kita tuh sudah melakukan hal terbaik untuk anak. Misalnya menjaga gizinya, mengatur jam belajarnya, dll. Saat anak terlihat “tidak memenuhi standar” misalnya ketika dia kelihatan kurus atau punya kehidupan yang relatif “normal” (tidak glamor seperti selebgram cilik), jangan galau. Karena kehidupan orang berbeda-beda dan kita sudah berusaha semaksimal mungkin.

Jangan Terlalu Menuntut Anak

Apa yang terjadi saat ibu galau dan merasa anaknya tidak berprestasi? Akibatnya anak jadi korban karena dituntut harus sempurna. Demi penghargaan “ibu terbaik” maka anak juga disuruh menjadi yang terbaik dan wajib jadi nomor satu di berbagai hal.

Padahal kita tahu  bahwa prestasi ada di bidang akademik dan non akademik. Ada 8 jenis kecerdasan di dunia. Jadiii kalau misalnya anak belum mendapatkan ranking di sekolah, jangan nangis dan menyalahkan diri sendiri. Penyebabnya karena dia lebih suka menggambar dan berkegiatan seni yang lain.

Terapi Mental

Lantas bagaimana cara mengatasi perasaan “belum bisa menjadi ibu yang baik?” Kalau memang berlarut-larut, segera konsultasi ke psikolog. Heei, konsultasi ke psikolog / psikiater bukan berarti kalian ini gila ya! Tapi memang lagi butuh bantuan profesional.

                                    Daku dan Saladin

Bisa jadi perasaan “belum bisa menjadi ibu yang baik” muncul karena memang sang ibu terlalu perfeksionis, sehingga ada cela sedikit dia langsung down. Keadaan ini juga bisa muncul karena ibu dulu (waktu kecil) terlalu dituntut oleh orang tuanya. Akibatnya dia jadi melakukan hal yang sama ke anak (tapi anaknya jadi tersiksa dan malah benci sekolah).

Naah untuk memutus mata rantai pengasuhan yang negatif seperti ini, butuh saran dari psikolog. Nanti akan diurai apa saja penyebabnya, apa karena buruknya inner child, dll. Ibu wajib sehat lahir batin dan jaga kewarasan, jangan galau berkepanjangan karena bisa menularkan mood buruk ke seluruh anggota keluarga.

Keluarga Bahagia Itu Diusahakan

Ingin punya keluarga yang bahagia? Yaa bahagia itu diusahakan. Kita usaha untuk berbahagia dan menerima bahwa ada keadaan anak yang belum sesuai dengan harapan.

Penerimaan sangat penting yaa karena merupakan tahap awal menuju keikhlasan. Jadi ibu harus menata hati. Bukannya sibuk bergalau ria dan terseret dalam arus kesedihan, lalu menyalahkan diri sendiri setiap hari.

                                       My family

Kekhawatiran hanya ada di dalam imajinasi dan jangan overthinking berkepanjangan. Misalnya saat anak punya BB yang kurang masih bisa dikejar, kok. Ketika anak belum meraih ranking di sekolah juga masih bisa diajari. Tentu dengan cara yang baik (tidak memaksa).

Menjadi ibu memang butuh ketahanan fisik dan mental, oleh karena itu kita tuh jangan terlalu terpengaruh oleh sosial media (yang bisa jadi toksik karena berubah jadi media untuk membandingkan anak). Kalau memang pusing, bisa off sosmedan dulu. Daripada bertambah galaunya serta menyalahkan diri sendiri serta anak-anak.

Ingat ya buu! KAMU BERHARGA. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri saat anak belum sesuai dengan harapan. Kita fokus ke kehidupan sendiri dan jangan memakai sepatu orang lain. Anak-anak hanya butuh ibu yang bahagia, bukan ibu yang sempurna.