Senin, 25 November 2024

Review Gunung Ungaran dan Hari-Hari Terakhir Bu NH Dini

 Siapa suka baca karya Bu Dini (alm)? Nah, daku tuh pertama baca karya beliau yang seri cerita kenangan (Sebuah Lorong di Kotaku, Padang Ilalang di Belakang Rumah, dll). Lanjut baca Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan buku-buku beliau selalu dicetak ulang karena emang sebagus itu.

Daku bersorak karena ada buku Gunung Ungaran di Ipusnas. Langsung ngebut baca dong dan Alhamdulillah kelar dalam dua hari padahal tebalnya 403 halaman. Emang seperti apa isinya?



Mari kita lihat dulu  data bukunya:

Judul   : Gunung Ungaran, Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya

Penerbit: Media Pressindo

Tahun  : 2018

Kehidupan NH Dini

Sama seperti buku-buku yang lain, Gunung Ungaran bercerita tentang kehidupan pribadi Bu NH Dini. Beliau memang sudah menulis beberapa buku mengenai kisahnya sendiri, jadi autobiografi yang berjilid-jilid. Kisah di sini berawal dari tahun 2006.



Pasca gempa Jogja, NH Dini pindah lagi dari Kota Gudeg dan kembali ke Semarang, kota masa kecilnya. Akan tetapi bukan di kota ya tapi di Semarang coret alias Ungaran.

Bu Dini pindah ke sebuah wisma yang dinamai sama dengan namanya. Kok bisa? Karena wisma itu dibangun atas prakarsa istri ex pejabat yang sangat perhatian dengan beliau. Wisma yang ada di Lerep, Ungaran, diharap menjadi tempat tinggal yang nyaman.

Pindahan Lagi

Akan tetapi Bu Dini lama-lama tidak betah di Lerep. Pertama, lama-lama tempat itu makin bising sehingga beliau kurang konsentrasi menulis. Kedua, ada gangguan dari ular, cacing, dan binatang yang tidak diharapkan. Ketiga, wisma dibangun oleh kontraktor dengan asal-asalan sehingga butuh banyak perbaikan dan biaya yang tidak sedikit.

                                  Bu Dini dan Lintang

Akhirnya Bu Dini pindah ke wisma lansia lain, masih di Ungaran. Di sana beliau lebih betah dan mulai beradaptasi. Kegiatan sehari-harinya: menulis, menerima tamu (para sahabat), menerima para mahasiswa yang konsultasi skripsi.

Tetap Aktif Ceramah di Mana-Mana

Bu Dini sangat mengagumkan karena di usia senja (di atas 70 tahun) beliau masih aktif memberi ceramah dan kuliah umum. Mulai dari di sebuah kampus di Bali sampai di tempat lain. Beliau juga  aktif di Akademi Jakarta sehingga secara teratur mengunjungi ibu kota.

                                 Bu Dini, Padang, dan Janet

Siapa pengen ke Ubud Writers and Readers Festival? Bu Dini berangkat ke Bali karena  menerima award dari Janet DeNefee, founder Ubud Writers and Readers Festival. Beliau datang dan ditemani oleh Padang, putra bungsunya.

Read: Launching Buku Gunung Ungaran

Menjadi Mbahnya Minion

Di buku Gunung Ungaran, Bu Dini meluruskan gosip mengenai beliau. Dulu jahat banget sih kalau ada yang bilang kalau beliau terpaksa tinggal sendiri di wisma lansia dan diabaikan oleh anak-anaknya. Padahal tinggal di wisma adalah keinginan beliau sendiri.



Lintang dan Padang (anak-anak beliau) juga sangat perhatian. Bahkan Padang selalu mengirimkan uang dengan jumlah yang lebih dari cukup. Tahu Padang? Beliau adalah Pierre Coffin, sutradara sekaligus kreator Minion.

Bu Dini dengan bangga menyebut bahwa beliau adalah mbahnya minion. Ketika premiere film, beliau bela-belain antri tiket, berdesakan, dan nonton di bioskop walau kursinya  kurang nyaman. Akan tetapi beliau sangat terharu karena putranya menjadi orang yang berhasil.

Motivasi dari NH Dini

Buku Gunung Ungaran sangat menarik karena gaya bertutur Bu Dini mengalir begitu saja. Pembaca bisa belajar story telling dari karya-karya beliau. Meski diselipi nasehat, tapi isinya tidak membosankan.



Satu hal yang daku suka dari buku Gunung Ungaran adalah Bu Dini (secara tidak langsung) memotivasi para pembaca untuk terus berkarya. Konsistensi adalah kunci. Beliau sejak muda sampai usia senja terus menulis setiap hari. Bahkan ketika sedang ke Prancis beliau juga masih nulis.

Membaca Gunung Ungaran bikin hati mencelos karena buku ini diselesaikan oleh Bu Dini di awal tahun 2018. Namun di akhir tahun beliau meninggal dunia karena kecelakaan lalu-lintas. Terima kasih, Bu Dini, karyamu akan selalu abadi.

18 komentar:

  1. Kebetulan aku bukan pembaca novel2 mendiang ibu NH Dini. Tapi aku tertarik membaca bagian bahwa beliau memang ingin tinggal di wisma untuk lansia. Nah, ini yang aku salut, karena sebenarnya tinggal di sana itu bukan dibuang loh pak, bu. Mengingat biaya yang dikeluarkan bisa besar juga, tergantung tinggalnya di wisma yang bagaimana. Tapi yang terpenting, beliau nyaman dan tetap bisa berkarya dan anak2 tetap memberikan perhatian. Jadi mau cari nih buku yang Gunung Ungaran.

    BalasHapus
  2. Setuju nih sama Ibu Dini. Konsistensi adalah kunci untuk bisa menghasilkan karya yang bermakna. Aku pun mencoba mengasah itu terus menerus.

    Percaya diri sih yang penting. Karena tulisan awal pasti jelek, tapi seiring jam terbang pasti akan ada perbaikan dan penyempurnaan.

    BalasHapus
  3. Aku baca beberapa bukunya Bu NH Dini. Paling ingat judulnya Istri Konsul. Tapi jujur aku gak begitu ingat detail pengalaman dulu ketika baca. Seingatku, aku kesulitan mencerna tulisan-tulisan beliau. Tapi itu udah lama banget, zaman-zaman SMA/kuliah. Pikiran belum sematang sekarang. Dan masih ada stok buku beliau yang belum terbaca di rumah :) karena ulasan ini aku jadi termotivasi untuk kenalan lagi dengan bu NH Dini.

    BalasHapus
  4. Wahhh aku baru nggeh kalau Ibu NH Dini ini Ibunya Piere Coffin 🥹 ya ampunn.. aku pernah dengar kalau Sutradara Minion ada darah Orang Indonesia. Tapi nggk nggeh kalau ternyata Orang Tuanya Ibu Dini. Ya ampunn 🫣

    Aku tahu Ibu Dini udah daei zaman pas tinggal di Semarang. Beliau emng dikenal dikalangan mahasiswa. Cuma aku ndak pernah baca buku beliau dan sungguh tertarik buat baca.

    Ternyata Bu Dini udah almarhum ya mba 🥹 sedihhh

    BalasHapus
  5. Aku belum baca karya beliau, melalui tulisanmu ini sepertinya akan membeli buku gunung ungaran ini dan melihat pemikiran beliau dan story tellingnya, dimana saat ini aku ingin mempertajam kemampuan itu.

    Terima kasih ya mba sudah berbagi dengan menulisnya.

    BalasHapus
  6. Saya paling ingat kisah Nh. Dini dimana beliau tetap produktif menulis di bahkan di masa tuanya. Saya ingin seperti beliau, tetap berkarya meskipun sudah lansia.

    BalasHapus
  7. Banyak yang salah mengira kalau orang yang sudah sepuh tinggal di wisma lansia berarti anak-anaknya tidak ada yang perduli. Padahal, kadang ya memang karena orang tuanya sendiri yang merasa nyaman tinggal di sana.

    Lagi pula, ketika orang tua tinggal di wisma lansia, bukan berarti anak-anaknya mengabaikan. Seperti Lintang dan Padang misalnya.

    Anak-anak Bu Dini bahkan selalu menemani kemanapun beliau ingin pergi kayaknya ya.

    BalasHapus
  8. Ya ampun aku baru tahu Bu NH Dini meninggal Krn kecelakaan 😔. Kirain sakit mba.

    Buku beliau termasuk yg banyak aku baca pas sekolah. Kebetulan di perpus sekolah juga banyak. Dan memang baguuus2. Dulu aku kira tulisan sastra lama bakal bosenin, ternyata justru aku betah baca tulisan2 dari penulis senior seperti beliau dan teman2nya yg sezaman.

    Ga nyangka juga salah satu anaknya creator dari minion. Aku pikir itu karya orang bule 😄

    BalasHapus
  9. Karya-karya NH Dini memang bagus. Sepertinya beliau tinggal di wisma lansia daerah Banyumanik dan mengalami kecelakaan mobil di daerah gombel Semarang.

    BalasHapus
  10. Mba Avi congrats, kamu keren sekali lho ya bisa kelarin buku 400 halaman lebih dalam dua hari 🤩.

    Jadi keinget, pertama kali baca buku karya bu NH. Dini pas aku masih bersekolah. Kala itu duduk dibangku SMK dan perpus sekolah punya koleksi buku novel yang lumayan bagus-bagus. Sebelum pulang, sehabis jaga kantin sekolah suka mampir ke perpus buat pinjam buku dan buku karya beliau selalu jadi favorit.

    Ternyata buku Gunung Ungaran, Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya ini cerita pelurusan ya sunguh kejam sih ada yang gosipin semiring itu. Padahal anak-anak beliau setauku sangat berprestasi dan baik juga.

    Jujur saja aku belum baca karya yang ini mba. Jadi penasaran pengen baca juga.
    Next kalau udah beresin 3 buku bacaan di rumah mau akh baca buku Gunung Ungaran di Ipusnas.

    BalasHapus
  11. luar biada yaaa blio.
    Sangat bisa menjadi role model pegiat literasi
    setuju bngett mbaaa

    konsistensi menjadi kunci utk hal hal baiikkkdi dunia ini.

    BalasHapus
  12. Wah, mbak Avi keren. Baca buku tebal hanya butuh 2 hari. Nh dini memang sangat terkenal ya
    Aku baru tahu kalau anaknya yang buat minion
    Tinggal di wisma lansia bagi orang Indonesia masih dianggap tabu ya
    Padahal hal itu bisa jadi pilihan lansia iyu sendiri

    BalasHapus
  13. Sedih juga membaca beliau berpulang karena kecelakaan. Padahal banyak sekali karya yang bisa beliau hasilkan kalau masih hidup karena begitu pandainya bercerita tapi masih kata lain sekarang kita apresiasi karya-karya beliau yang masih ada

    BalasHapus
  14. Masya Allah beliau ini keren sekali ya sampai diluruskan soal keputusannya yang tinggal di wisma.
    benar dimasyarakat kita memang sepertinya anaknya bakalan dipandang orang-orang sebagai anak durhaka, padahal ya tidak begitu nyatanya.
    sehat-sehat ya bu...

    BalasHapus
  15. Iya sedih baca buku ini karena ini buku terakhir Eyang, kami ramai-ramai ke Yogya untuk menghadiri acara peluncurannya dan beliau terlihat bahagia sekali menjawab berbagai pertanyaan mahasiswa saat itu..Al Fatihah.. komitmennya menulis setiap hari patut ditiru oleh kita..

    BalasHapus
  16. wah masyaAllah.. kalau tidak mampir ke blog ini, mungkin aku tidak mengenal adanya alm ibu dini ini. terimakasih bunda saladin sudah menuliskan kisahnya, jadi penasaran dengan bukunya. ternyata ada di ipusnas juga ya..

    BalasHapus
  17. Aku juga akhir-akhir ini kembali meminjam buku di iPusnas.
    Karena gramedia digitalku uda abis masa langganannya dan kini semakin melonjak tinggi biaya langganan premiumnya.

    huhuhu..

    Dan senang dapet rekomendasi buku NH Dini.
    Aku mau ikutan baca buku beliau "Gunung Ungaran".

    Dengan kisah yang mengalir dan berdasarkan kisah nyata, pastinya pembaca jadi bisa membayangkan sosok beliau dan merasa dekat.

    BalasHapus