Sabtu, 25 Juni 2016

Arti Sebuah Kata Maaf

Breng!
Aku memeluk pinggangnya erat-erat. Motor dilarikan menembus gang-gang kecil di jalan Tlogomas. "Sabar ya nak, ayahmu sedang menundukkan izazil di dalam hatinya", bisikku pada janin yang ada di rahim. Kami baru saja berkunjung ke rumah Budhe, di hari pertama Lebaran. Di sana tak ada candaan semanis nastar. Namun kami terpaksa menelan sarkasme sepahit kopi tubruk tanpa gula.

"Memangnya kamu bisa masak?", selidik Budhe. Sebagai pengantin baru, wajar jika aku sering ditanyai hal itu. Tapi suamiku tak terima ketika Budhe meneruskan kalimatnya, "Vina itu dari kecil cuma doyan baca buku. Gak becus beberes rumah, apalagi masak!". Senyumnya menguncup, lalu ia mengajakku pulang.

Lalu ia menumpahkan amarahnya di perjalanan, "Aku kapok pergi ke sana! Istriku dibilang gak bisa apa-apa!". Ketika ia meneruskan omelannya, tak terasa air mata meluncur. "Sudahlah Mas, ini malam lebaran, kok marah-marah?", isakku. Namun ia tetap berhati panas.

Ketika motor hendak belok ke arah Gang patung pesawat, aku berteriak, "Ya sudah, kita pulang saja! Tak usah pergi ke rumah ibuk!". Memang kami berencana mengunjungi rumah ibu mertua. Sebenarnya tadi pagi kami sudah sowan ke sana, tapi ibu mertua menelepon agar kami datang lagi. Karena kakak ipar yang bermukim di Jombang baru saja datang.

Tapi ucapanku malah semakin mengobarkan api di dalam hatinya. Motor dilaju lebih cepat. Sepanjang malam aku hanya bisa memandang rembulan sambil berurai air mata. Sampai rumah, ia langsung masuk ke ruang kerja, lalu merokok. Aku naik ke lantai 2, meneruskan tangisku di kamar.

Paginya aku turun dari kasur, hendak mengambil air wudhu. Seusai sholat, kulihat ia sudah terbangun.Kuberanikan diri untuk memulai percakapan, "Mas mau kopi? Atau nasi goreng?". Mulutnya masih terkunci, lalu ia pergi berwudhu dan sembahyang di musholla rumah.

Setelah beribadah tiba-tiba ia menghampiriku, walau senyumnya belum mengembang. Aku meminta maaf terlebih dahulu, "maaf ya mas, kemarin Budhe seperti itu. Ia hanya tahu kebiasaanku waktu kecil. Tapi sekarang aku sudah berusia 25 tahun, dan berubah drastis".

Tangisku pun meledak lagi. Ya Allah, mengapa aku harus sedih di hari raya? Tiba tiba tangannya yang besar memelukku dari belakang. Ia berbisik, "maaf ya sayang, semalam aku tak terkendali. Padahal sayang sedang mengandung, nanti didengar anak kita".

Kamipun berpelukan erat. Ternyata semua ini hanya salah faham. Ia marah karena membelaku. Tapi aku sedang hamil, jadi perasaanku lebih sensitif, dan menganggapnya marah padaku.

Kejadian ini membuatku sadar akan arti sebuah kata maaf. Minta maaf bukanlah hal yang dilakukan hanya saat lebaran. Tapi wajib dilakukan saat merasa bersalah. Mungkin dulu aku banyak melakukan kesalahan, tapi suamiku sudah memaafkanku dalam hati. Seringkali ego yang meraja di hati, melarang kita untuk meminta maaf. Padahal maaf adalah tanda kebesaran hati dan kebijaksanaan. 



“Tulisan ini diikutsertakandalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”

Rabu, 22 Juni 2016

Terbangun Dari Koma Setelah Mendengar Azan Subuh

Pyar! Cahaya yang tersorot dari atas, menyilaukan mata. Udara dingin menyergap tubuh kurusku. 
Aku berjalan menuju lorong putih tak berujung. Tak ada manusia, tumbuhan, maupun hewan. Membangkitkan perasaan aneh. Dimana aku?

Apa aku sudah dikubur? Atau sudah berada di surga, atau jangan jangan neraka? Mana malaikat Munkar dan Nakir? 

Tiba tiba kakiku bersentuhan dengan ranjang besi yang dingin, kulihat tembok putih yang bercampur dengan aroma kloroform. Aih, rupanya ini rumah sakit, bukan surga. Berarti aku belum mati. Tapi jika aku masih hidup, mengapa aku tak kuat berdiri, di mana ibuku?

Tiba tiba ada dua sosok bercahaya, apa itu mereka? Sosok pertama mengenakan baju biru, sedangkan sosok kedua berpakaian merah. Tampang mereka tak seperti yang kubayangkan, tak ada sayap di bahu, atau mantel gelap yang menutupi wajahnya. Rupanya wujud malaikat tak seseram yang diduga orang. Tapi apa benar mereka adalah malaikat Munkar dan Nakir?

Apa yang akan mereka lakukan? Apakah aku akan dicambuk karena bergelimang dosa? Mana tali yang akan membungkam mulutku, sehingga yang berbicara adalah tangan dan kakiku? Mengakui segala perbuatanku, tubuh ini sudah dibawa ke mana saja, ke masjid atau tempat hiburan malam?

Tapi mereka tak membawa cambuk maupun tali. Setelah mendekat, mereka bercakap dengan bahasa yang tak kuketahui. Sosok merah duduk dengan santai di ujung kaki kiri, sedangkan sosok biru berada di ujung kanan. Setelah mengobrol, si merah mengisyaratkan sang biru agar berjalan ke bangsal sebelah, sementara ia menungguiku. Dari kejauhan, sosok biru itu seolah berkata dengan ekspresi  wajahnya, "waktunya belum tiba". Seolah olah saat itu ada kesepakatan bahwa aku diberi sambungan nyawa.

"Allahu akbar..allahu akbar"
Alhamdulillah, sudah adzan. Seolah ada kekuatan yang membuka pelupuk mataku. Kulirik jam dinding, sudah jam 4:30 pagi. Udara Tenggarong di pagi hari cukup sejuk. Aku meraba pinggir ranjang, hendak turun untuk berwudu.Tapi apa yang ada di tanganku? Selang? Ah, rupanya selang infus. Aku tidak bermimpi ada di rumah sakit, ternyata aku memang diopname. 

Tapi kaki ini  seakan digelayuti beban dua ton, akhirnya aku tayamum saja, meraba-raba tiang infus untuk mencari debu. Kulirik ibuku yang tertidur di kursi. Wajahnya yang berhias keriput, tampak kuyu dan sendu. Aku sungguh tak tega untuk membangunkannya. 

Setelah shalat subuh, mata ini terasa berat kembali, hmm mungkin aku sebaiknya beristirahat lagi agar cepat sembuh. Tapi aku tak lagi menemui sosok merah dan biru itu, tak ada mimpi apa apa, hanya merasa damai.

Lalu...
"Allahu akbar..allahu akbar"
Rupanya sudah azan lagi. Bersyukur telinga dan mata ini masih berfungsi. Lalu kulirik jam dinding. Astaghfirullah, sudah jam 3 WITA! Sudah ashar, kukira azan dhuhur. Kuucapkan istighfar sekali lagi. 

Mengapa aku senang ketika dihidupkan kembali? Harusnya aku bersyukur jika sewaktu waktu malaikat maut mencabut nyawaku, karena insyaAllah akan mati syahid. Aku meninggal ketika memperjuangkan pembangunan pondok pesantren. Tapi takdir berkata lain.

"Aji..Aji". Tiba tiba ibu memelukku, air mata meluncur dari kedua sudut matanya. 
"Ibu, aku hanya tertidur seharian, mengapa menangis?"
Ibu terisak isak lalu berbisik,
"Kamu tidak tidur nak, ini di ICU. Kamu dinyatakan koma dan tidak sadarkan diri selama tujuh hari!

Aku koma? Rasanya hanya seperti mimpi. Benarkah dua sosok yang kutemui itu malaikat? Hanya Allah yang tahu, lagipula saat itu aku tak sanggup menanyai mereka. Jika aku menanyainya, apakah ia akan mengerti bahasa manusia?

"Oleh dokter kamu dinyatakan kena komplikasi, sakit malaria dan tipes."

Ingin ku tertawa terbahak-bahak, tapi kutahan karena tak ingin membuat ibuku bingung. Umurku belum 30, tapi sudah kena komplikasi? Dengan susah payah kutahan tawa di mulut

"Sudah minum dulu nak, selama seminggu kamu gak makan, nutrisi yg masuk hanya lewat infus."

Gluk..glukk..Sambil minum aku menggali memori sebelum koma. 
Aku hanya ingat masku yang segera membawa mobil sedannya, menembus jalan berlumpur, menuju pondok. Beliau menjemputku karena disuruh ibu untuk menengok keadaanku, sudah tiga hari aku tak pulang ke rumah. Saat itu, demam merajai tubuhku, aku hanya sanggup berbaring di lantai beralas tikar. Saat aku dibopong, dan pintu mobil terbuka, lalu mataku byarr..Semuanya gelap..

Padahal dua hari sebelum koma, aku masih memancing ikan di sungai Mahakam. Ikan itu akan menjadi hidangan bagi para tamu di resepsi pernikahan Andi, sahabatku. Kami sama sama merantau dari Jawa. Bedanya, aku tinggal bersama ibu di pondok kayu yang berada di tengah tanah garapan milik Kakakku. Sedangkan ia tak punya sanak keluarga di Borneo. 

Setelah memancing, aku sibuk mengambil pisau, untuk membersihkan ikan, lalu memasaknya. Rasa lelah setelah semalaman mengajar Bahasa Inggris di salah satu Pondok Pesantren di pinggiran kota Tenggarong tak kuhiraukan. Padahal hari sebelumnya, aku tak sempat tidur barang sekejap. Sepuluh santri di Pondok menjadi tanggunganku. Dengan sigap aku membawa parang, hendak mencari daun pisang dan kayu bakar, untuk ditukar dengan beras dan ikan asin.

Mungkinkah aku koma karena terkena gigitan nyamuk malaria yang bersarang di lebatnya hutan Kalimantan? Atau tubuhku ini hanya menuntut istirahat panjang, karena terlalu lelah setelah bekerja dan mengajar? Entahlah..

Esoknya aku dipindah ke ruangan perawatan biasa. Lalu ibu berjanji, setelah sembuh beliau akan mengajakku kembali ke tanah jawa. Rupanya Allah memberiku sakit ini sebagai jalan agar aku meninggalkan hijaunya Borneo. Semoga nanti kakakku mau membantu para santri di pondok, karena aku tak kuat lagi menanggung logistik mereka.

Selamat tinggal Tenggarong! Kuucapkan kalimat itu dalam hati, ketika menginjakkan bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan. Sebelum naik pesawat, aku iseng naik ke timbangan barang. Berat badanku merosot sampai 7 kg setelah tujuh hari koma!

Sekarang aku mengabdikan diri sebagai pengajar di sebuah madrasah diniyah. Semangat anak-anak yang belajar mengaji, diselingi canda mereka, menghangatkan hatiku. Walau hanya dibayar seratus ribu rupiah per bulan, bagiku itu sudah cukup. Allah telah memberiku kesempatan kedua, setelah kesadaran ini dikembalikan lewat panggilan-Nya.

Nyawa sambungan ini tak akan kusia-siakan. Ilmu akan kutularkan pada mereka, walau aku tak pernah belajar agama secara formal. Bukankah Rasul bersabda, sampaikanlah walau satu ayat? Aku bersyukur telah mengalami kejadian yang tak bisa dirasakan oleh semua orang.

*Seperti yang diceritakan oleh Aji Narasimhamurti, suami saya




 

Jumat, 17 Juni 2016

Anakku Dikira Bisu Karena Kecanduan Gadget

"Lho, anaknya bisa ngomong? Aku kira dia bisu!"

Siapa yang tak sakit hati jika anaknya diledek seperti itu? Apalagi oleh tetangga sendiri. Putra saya, Saladin memang sudah berusia 3,5 tahun, tapi dia jarang sekali mengeluarkan kata -kata dari mulutnya. Paling paling hanya ayah, mama, maem, jajan. Kosakatanya tidak bertambah selama dua tahun terakhir. Saking irit ngomongnya, sampai sampai ia dikira tuna wicara!

Umumnya anak bisa berbicara lancar saat berusia 2 tahun. Namun mengapa ia belum bisa ngomong? Dulu saya kira ia adalah anak pendiam, atau memang malas berbicara, seperti ayahnya. Tapi jangan jangan ia belum bisa berkomunikasi dengan baik, karena ada masalah di pendengarannya? Atau ia adalah anak autis?

Akhirnya Saladin dibawa ke sebuah rumah sakit, menuju praktek dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, syukurlah, ternyata tak ada kelainan apa-apa di telinganya. Tapi nenek Saladin yang masih penasaran, membujuk untuk konsultasi ke sebuah Klinik Tumbuh Kembang.

Ruangan klinik yang senyap serasa meneror hati, apa yang harus dikatakan? Tapi senyum Pak Psikolog yang mengembang benar-benar menentramkan hati. Ia mempersilahkan untuk mencurahkan isi hati. Lalu saya bercerita tentang kekhawatiran Nenek Saladin, apakah ia autis, atau hiperaktif. Mengingat hobinya memanjat pohon, suka berlari, bahkan nekat menyeberang jalan sendiri.

Satu pertanyaan yang meluncur bagai bom atom, meluncur dari mulut beliau.

"Apakah Saladin menonton televisi lebih dari satu jam dalam sehari?"

Saya hanya bisa menjawab "ya". Sambil mengingat, berapa jam dalam sehari, durasi Saladin menonton televisi? Ya Tuhan, secara tak sadar saya menjadikan anak tunggalku budak televisi, karena ia betah menonton  dari pagi hingga malam. Saya biarkan ia menonton tv karena saat itu ia bisa anteng, duduk diam dan memelototi layar. Sementara saya asyik bercengkrama dengan smartphone.



Ponsel android ini menjadi andalan saya dalam bekerja, karena ada toko online yang saya kelola. Jadi saya harus sering sering online di ig dan fb, berpromosi, membalas inbox dari pembeli dompet cantik, atau mengecek apakah ada pesanan melalui BBM. Setelah berpromosi, smartphone ini tidak saya letakkan, tapi saya malah asyik berkomentar di status teman-teman, atau ketawa ketiwi di grup wa.

Ketika Saladin bosan dengan suatu program di televisi, ia memencet mencet tombol dan mengganti channel senaknya. Lalu bocah itu merebut smartphone dari tangan saya, menyetel musik, dan belajar memotret. Saat jenuh, maka dengan sigap ia memanjat kursi sebagai tumpuan, menuju ke atas lemari yang tingginya dua meter! Di sana ia tidak menangis, malah meringis dan berdiri, lalu fashion show di atas lemari!



Dan akhirnya saya menyadari kesalahan terbesar: Saladin terlihat seperti seorang hiperaktif dan bisu karena ia mencari perhatian dari mamanya, dan kurang diberi stimulasi. Memanjat adalah caranya untuk meminta perhatian saya. Mata yang tadinya terpaku pada layar smartphone harus beralih ke Saladin, ketika ia berada di atas lemari. Ia tidak nakal, hanya kurang kasih sayang.

Lalu ketika ia menonton televisi atau menonton video di hp terlalu lama, ia asyik sendiri. Seolah olah tersedot dengan dunia di dalam layar. Komunikasi satu arah dari televisi membuatnya kesulitan berkomunikasi dua arah. Ditambah lagi, saya jarang mengajaknya mengobrol, ia asyik bercengkrama dengan tv, sementara saya tak bisa lepas dari smartphone.

Hanya satu hal yang membuat saya lega: Saladin dinyatakan bukan anak autis maupun hiperaktif. Karena tidak ada tanda tanda anak autis pada dirinya. Ia hanya overaktif, dan hal ini wajar karena anak balita memang sedang lincah lincahnya. Anak overaktif sepintas mirip dengan anak hiperaktif. Anak yang overaktif meskipun gerakannya sangat lincah masih memiliki tujuan (misalnya, ingin mengambil kue di atas lemari). Kontak matanya pun ada, sementara anak hiperaktif tidak memiliki kontak mata.

Apa yang harus saya lakukan? Kata Pak Psikolog, yang pertama adalah matikan televisi. Bermain game di smartphone, laptop, maupun pc, juga tidak boleh. Diharamkan juga menonton video di youtube. Selain berpotensi membuat matanya juling, bisa membuatnya jadi egois, susah mengimitasi kata yang saya ucapkan, dan atensinya kurang.

Anak yang kecanduan gadget (televisi, smartphone, laptop, dan PC) berpotensi jadi egois karena ia bisa mengendalikan gadget itu seenaknya. Saat bosan, tinggal mengganti channel TV. Mengganti lagu yang ingin didengar dari smartphone juga mudah sekali, tinggal geser geser layarnya.

Jadi anak berharap semua orang menuruti keinginannya, mengendalikan sekitar, seperti caranya menguasai gadget. Jika keinginannya tidak dituruti, tantrum menjadi senjatanya untuk mendapatkan benda yang ia dambakan.Selama ini, jika Saladin marah, maka saya atau neneknya segera memberinya permen atau mengajaknya ke minimarket untuk membeli eskrim. Ternyata perilaku kami salah besar. Anak jadi berpikir, dengan amarah, ia mendapatkan hadiah, tak usah berkomunikasi untuk meminta makanan.

Semua orang yang ada di rumah juga harus bekerja sama, jadi televisi dimatikan ketika ia terjaga. Ketika Saladin bangun, ia tidak boleh meminjam hp dan laptop. Dua hari tidak menonton televisi membuat saya merasa aneh, tapi lama lama biasa. Saladin akhirnya mau diajak bermain menyusun balok dan puzzle. Sementara kelincahannya bisa disalurkan ke bidang olahraga, misalnya berlari, berenang dan bersepeda.

Jalan untuk terapi Saladin dipermudah setelah smartphone saya rusak. Inilah cara Tuhan untuk meredakan kecanduan gadget (nomophobia-no mobile phone phobia) yang bertahun tahun saya idap.Saya bisa fokus mengobrol dan membacakan cerita untuk Saladin.

Lalu saya membuat keputusan ekstrim: menutup toko online. Barang dagangan yang tersisa didiskon habis-habisan, dan saya hanya boleh online di PC selama anak tidur. Uang bisa dicari, tapi kesempatan untuk mendidik anak tidak bisa diulang. Apalagi Saladin memasuki masa golden age, masa keemasan dimana ia mudah sekali menyerap ilmu pengetahuan dari lingkungan sekitarnya.

Syukurlah sekarang Saladin mulai bisa mengimitasi kata kata yang saya ajarkan. Kami sering menyanyi dan membaca majalah anak-anak bersama. Jika ada orang lain yang ketahuan menonton tv, langsung ia matikan :D.

Saya tidak anti pada kemajuan teknologi televisi dan smartphone. Melalui televisi, kita bisa dapat hiburan dan mengetahui berita dari dalam maupun luar negeri. Jika ada smartphone tentu mempermudah komunikasi dan membuat pemilik toko online terbantu dengan fasilitas bbm, wa, dan sosial media. Bahkan ada tukang sayur yang siap mengirim pesanan melalui wa.

Tapi tentu saja semua itu harus dikendalikan. Balita boleh menonton televisi tapi maksimal satu jam dalam sehari. Biarkan mereka bermain di lapangan atau bersepeda di samping rumah.

Jangan sampai smartphone dan gadget menguasai kita, membuat kita terpaku berjam-jam menatap layar. Pernahkah anda melihat kumpulan orang yang makan di restoran? Mereka tidak mengobrol tapi asyik dengan hp masing masing. Smartphone bisa mendekatkan teman yang jauh, tapi juga bisa menjauhkan yang dekat. Janganlah kita diperbudak gadget dan kehilangan momen kebersamaan bersama keluarga tercinta.







Minggu, 05 Juni 2016

Sayonara Grandma

Malam ini aku bertemu dengan nenek dalam mimpi. Untuk ketiga kalinya. Ya, aku hanya bisa menemuinya dalam mimpi, karena kini ia telah tiada.

15 April 2016 adalah hari paling haru sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Jam 7:30 pagi, tiba tiba mama yang baru saja masuk kantor, menelepon Papa. Mengabarkan kalau nenek meninggal dunia. Padahal nenek tidak sakit apa-apa. Memang beliau mengidap diabetes, tapi gula darahnya relatif normal dan pola makannya terkontrol.


Aku dan Nenek

Aku tak percaya

Nenek, yang kuanggap sebagai ibu kedua, meninggal dunia?

BRAKKKK !!

Dunia seakan runtuh. Oh Tuhan, bagaimana dengan perasaan Mama? Pasti beliau lebih sedih lagi.
Dan akhirnya kenangan akan nenek mulai membanjiri ingatan. Beliau yang memberikunama panggilan "vina", mungkin karena "avizena" susah diucapkan. Beliau juga yangmemberiku anting emas pertama, yang memberikan seekor kambing saat aqiqah Saladin, cicit pertamanya.


Nenek hanya dua kali bertemu Saladin, saat Adin aqiqah dan di akhir tahun 2014 lalu. Alhamdulillah Saladin sempat berfoto dengan mbah buyutnya.



Sekarang saat sedih aku hanya bisa membacakan surat yasin untuknya. Atau mengenang memori manis tentangnya. Meskipun nenek tinggal di Jepara, dan aku tinggal di Malang, namun beliau tak pernah lupa dan selalu mencurahkan perhatiannya.

Tahun 2004 saat aku akan kuliah, tiba tiba ada paket dari Jepara, ternyata Nenek emngirim sebuah pena yang bagus sekali. Tahun 2002, ketika adik bungsuku lahir, Nenek "terbang" dari Jepara ke Malang. Aku masih ingat, saat itu rumah sepi. Mama masih ada di rumah sakit, pasca operasi cesar. Namun Nenek menghangatkan suasana rumah dengan lumpia yang entah beliau beli di mana. Esoknya, ada paket berisi sepuluh buku tulis , bergambar personel F4, untukku dan Dek Doni.

Beberapa kali beliau menginap di rumah kami, dan memilih untuk tidur di kamar lantai 2. Padahal dilantai 1 ada kamar tamu, namun beliau memilih untuk tidur di atas. Karena lebih dekatdengan mushalla rumah.

Pernah sekali beliau bercanda "di sini uangku gak laku". Oh, tenryata karena Mama sibuk membayarkan ini dan itu, untuk keperluan Nenek.

Nenek selaluhadir di saat saat penting dalam hidupku. Ketika aku dilamar, ketika aku menikah, lalu saat Saladin aqiqah. Beliau selalu berpesan "sabar", ketika mengasuh Saladin.Memang Saladin adalah anak istimewa yang selalu berputar putar dan berlari di sekeliling rumah, sehingga menjaga dan mengasuhnya selalu membuat kakiku berasa remuk. 

Nenek, kau akan selalu hidup dalam hatiku. Akan kuingat sosokmu yang mengoleskan lipstik Revlon di bibir indahmu, kelincahanmu dalam mengikuti senam jantung sehat. Aku merindukanmu. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam Surga.

Kamis, 02 Juni 2016

Bangkit dan Bersinar, Setegar Ebony

Apa yang kau rasakan ketika dicerai, padahal sedang hamil muda? Mungkin kau tenggelam dalam kesedihan, mungkin kau berpikir untuk bunuh diri. Tapi Karin mencoba untuk bertahan.

Karin alias Asih Karina adalah penulis buku Setegar Ebony, buku favorit saya tahun ini. Setegar Ebony bukanlah novel, melainkan sebuah autobiografi. Kisah kehancuran rumahtangganya yang berlangsung hanya beberapa bulan. Cuma seumur jagung!


Padahal Karin dan Ardhan (mantan suaminya) telah memadu kasih selama lima tahun, sebelum menikah. Apa yang membuat Ardhan menjadi berpaling? Apakah ia sadar bahwa pernikahan adalah suatu penjara baginya, yang memuja kebebasan? Atau ia menyesal dan berkata "terlanjur", sudah kadung menikah, tapi hati berkata lain?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang ada di hati Karin. Hanya lima bulan setelah menikah, Ardhan mengucapkan talak padanya. Padahal mereka pernah bulan madu ke Bali, dan di sana Ardhan menunjukkan cintanya yang sangat besar. 

Karin terus bertanya, "apa salahku?". Apakah Karin bukan istri yang sepadan untuknya? Apakah Ardhan sudah cukup puas mengambil keperawanannya, lalu menghempaskannya begitu saja? 
Sebenarnya gelagat Ardhan sudah tercium beberapa bulan lalu. Hanya 2 minggu setelah mereka menikah, sorot matanya lain. Ia mulai sering pulang malam, bahkan pergi ke Madura bersama teman-temannya tanpa pamit. 

Karin, yang tinggal bersama mertua dan iparnya, selalu gelisah menanti kepulangan sang suami. Tak jarang ia menunda makan malam, karena ingin menemani Ardhan makan. Tapi ternyata ia sudah makan di luar, bersama rekan kerjanya.

Apakah Karin terlalu posesif dan melarang Ardhan untuk bergaul? Ketika Karin menanyakan, apakah ia akan terus aktif dengan kegiatannya di luar rumah, jawab Ardhan,

"Aku nggak akan berhenti, aku bukan tipe orang yang bisa di rumah terus"

(halaman 35)

Hati istri mana yang tidak hancur ketika mendengar kata kata itu, dari suami yang baru saja menikahinya? Sebagai pengantin baru, wajar saja kalau istri menuntut perhatian lebih,  berduaan saja bersama suaminya. Tapi apa yang membuat sang suami menjadi berubah drastis seperti ini?

Akhirnya Karin mengiyakan ajakan sang ibu untuk pergi ke seorang paranormal. Lalu ada seseorang yang merekomendasikan seorang Kyai muda, yang bisa memecahkan masalahnya. Kyai Yassin namanya. Dengan mobil carteran, Karin menemui kyai itu dan menceritakan masalahnya. Sebotol air doa dan wirid yang harus ia doakan setiap malam adalah bekal dari sang Kyai untuk Karin.

Limpahan doa dan harapan yang Karin ucapkan setiap hari akhirnya membuat Ardhan kembali. Karin sangat bersyukur karena sang suami hadir lagi di pelukannya. Namun keromantisan itu hanya datang dalam beberapa hari. Ardhan seolah tak mau kembali, bahkan tak mau menyempatkan waktu sejenak untuk membalas sms.

Dan puncaknya ketika Ardhan mengucapkan talak di depan Karin. Tapi Karin ingin ia dan keluarganya berpamitan dan mengucapkan perpisahan secara resmi, di depan keluarganya. Datang baik-baik, berpisah dengan baik-baik pula. Ayah Karin tak sanggup menghadiri pertemuan itu, karena turut merasakan sakit hati yang dialami oleh anak bungsunya. Sang ayah memang sudah berpisah dengan ibu Karin, dan tinggal di Jakarta.

Di pertemuan itu, tiba-tiba Ardhan bercerita bahwa ia pernah menikah lima tahun lalu di Bali, dan memiliki seorang anak. Rupanya kemalangan Karin berasal dari teluh dari mantan istri Ardhan, yang tak rela melihat mereka bahagia. Lalu Karin mengucapkan lima sumpah pada Ardhan. Ardhan akan menyesal, karena tak ada lagi wanita yang bisa mencintainya dengan sangat tulus, seperti dirinya. Ia juga akan menjalani hidup yang sangat terjal dan tak pernah bahagia, walau dengan materi berlimpah. 

Setelah acara berakhir, Karin menangis di pelukan ibunya. Dua wanita ini bernasib sama, harus menjadi single parent. Bedanya, sang ibu terpaksa menjanda karena tak terima harus dipoligami, dan harus berjuang membesarkan tiga anak, sendirian. Sedangkan Karin, di usianya yang belum genap 27 tahun, sudah menyandang status janda muda, sedang hamil pula!

Status janda tak membuat Karin dijauhi oleh tetangga. Mereka justru menunjukkan perhatian dan cinta padanya. Pada hari hari tertentu, mereka mengadakan jamuan makan pagi khusus untuk Karin. Walau menunya hanya sayur dan urap, namun ia menikmati kebersamaan ini. Karin yang sedang mengidam juga dihujani perhatian oleh teman teman dan saudaranya. Mereka seolah berebut memberikan makanan yang disukainya.

Namun ketenangan ini hanya berlangsung sekejap. Ardhan tiba tiba datang, bersama ayah mertuanya. Ia memberikan separuh uang ganti rugi yang diminta Karin. Karin memang meminta uang 55 juta rupiah sebagai ganti rugi atas sakit hati yang dideritanya. Sakit itu semakin mencekik saat Ardhan memeluknya dan berkata "aku kangen". Terlebih ketika sang ayah mertua seolah tidak membelanya, dan membiarkan anaknya bertindak semaunya.

Setelah pertemuan mengejutkan itu, Karin menyibukkan diri dengan merenung di kamar mandi. Sang ibu bahkan takut jika putrinya bunuh diri. Ia memang sempat menyinggung hal itu, namuninilah jawaban ibunda:

"Nek Adek bunuh diri, ibu melok mati ae"

(halaman 42)

Jika Karin mati bunuh diri, maka sang ibu akan mati juga. Hidup ibunya dihabiskan hanya untuk menjaga Karin, karena dua kakaknya telah menikah dan pindah rumah. 

Kini Karin sadar, ketika manusia sudah berada dalam tingkat pasrah, maka Tuhan akan menolong dan menunjukkan hikmah di balik petaka. 

"Kekuatan dari Tuhan melalui anakku kini menjadi satu-satunya alasan untukku bertahan meski aku harus menyelami nasib seorang diri seperti layang-layang"

(halaman 9)

Setelah USG, Karin melihat binar mata anaknya, detak jantungnya. Ia adalah harapan baru bagi hidupnya. Ia harus tetap bertahan, demi sang putri tercinta. Dan akhirnya, 26 maret 2013, Ebony Agna Sabria lahir di dunia. Ebony adalah jenis kayu yang sangat kuat, dan Karin ingin jadi kuat, setegar ebony.

Saya menangis tiga kali saat membaca novel ini. Betapa tidak! Sang penulis benar-benar ada dan saya mengenalnya secara pribadi, karena ia adalah adik tingkat saya. Pernah sekali ia menulis status di fb, mencari keberadaan Ardhan. Namun saya tak menyangka bahwa ia harus melewati cobaan yang begitu berliku di usianya yang masih sangat muda. 

Namun Karin berhasil mengubah tragedi menjadi sebuah tragicomedy. Ia menumpahkan perasaannya dan menulis buku Setegar Ebony ini. Baginya, menulis adalah sebuah terapi jiwa. Ia mengajarkan saya bahwa setiap emosi negatif tidak harus menjadi status fb, namun disulap menjadi puisi, cerpen, atau novel. Royalti dan honornya akan menebalkan kantong, kan? 

Karin juga membangunkan pembaca dari mimpi pernikahan impian. Tidak ada yang namanya hidup bahagia selamanya, karena pernikahan adalah sebuah permulaan, bukan akhir. Awal dari hidup baru, dan pasangan pengantin harus siap untuk menghadapi setiap masalah dan badai rumah tangga yang mendera. Laut yang tenang tak akan menghasilkan pelaut tangguh.

Cinta saja tak cukup dalam sebuah hubungan pernikahan. Namun diperlukan juga komitmen, kesetiaan, dan kepercayaan. Saat suami sudah jujur,setia, dan penyayang, itu sudah cukup untuk disebut sebagai suami ideal.

Walaupun ia tak setampan Lee Min Ho, helai rambutnya sudah memutih, dan perut six-packnya sudah membuncit, tapi ia setia menggandeng tangan anda ketika sedang menyeberang jalan. Atau ia mau membantu anda mencuci piring dan menyiapkan sarapan, padahal masih kelelahan pasca lembur. Bukankah itu adalah hadiah yang besar, melebihi kebahagiaan ketika ia memberi anda cincin emas bertahtakan berlian? Tak ada sosok suami sempurna, karena hanya Tuhan yang sempurna.

Karin juga pernah merasa hidupnya sempurna, karena mampu membantu suaminya mencari nafkah, dengan bekerja sebagai content writer. Namun pekerjaan penulis yang mengurung diri di kamar, agaknya perlu lebih disosialisasikan kepada keluarga, tetangga, dan orang lain. Mungkin mertua Karin heran, mengapa menantunya asyik sendiri di kamar, padahal ia sedang bekerja. 

Melalui Setegar Ebony, Karin juga selalu mengingatkan saya untuk bersyukur. Alhamdulillah, saya punya anak laki-laki yang sehat. Ketika ayah saya marah, saya bersyukur karena memiliki ayah. Ketika suami cemberut, saya bersyukur karena memiliki keluarga yang utuh. 

Rasa syukur ini yang seharusnya saya nikmati. Percetakan yang saya dirikan bersama suami memang limbung dan terpaksa harus ditutup, karena tertipu rekan bisnis. Tak tanggung tanggung, kerugiannya senilai limabelas juta rupiah. 

Kesehatan finansial keluarga merosot drastis, dan kami memulai hidup dari nol lagi. Setelah membaca buku ini, saya bersyukur karena memang Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kekuatan hamba-Nya. Alhamdulillah bukan saya yang menipu. Alhamdulillah Allah segera memperingatkan saya tentang dahsyatnya dosa riba, karena uang itu memang hasil pinjaman dari Bank. 

Tak usah menggerutu ketika ada masalah, karena masalah adalah salah satu cara Allah untuk memanggil hamba-Nya. Saat ada masalah, baru saya sadar bahwa selama ini ibadah sunnah saya kurang dijaga, membaca qur'an pun sesempatnya. Kini saya tobat dan berusaha beribadah dengan lebih tekun.

Sesungguhnya manusia harus bersabar, karena di balik kesulitan, ada kemudahan. Seperti tercantum dalam surat Al Insyirah ayat 5 dan 6.

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"

Saya harap semoga Karin dan Agna selalu bahagia. Terimakasih telah menulis buku Setegar Ebony, semoga seluruh pembaca bisa mendapatkan hikmah setelah membacanya.