Jumat, 20 Februari 2015

Pindah Dari Pondok Mama Indah

Siapa bilang nebeng di rumah orangtua sendiri enak? Apa benar lebih baik tinggal di rumah orangtua daripada mertua?

Sudah lebih dari seribu hari pernikahan kami. Beribu pengalaman telah dikecap, menikmati pasang surut emosi, finansial, dll. Tapi ada satu hal yang sama yaitu "tempat tinggal". Ya, sejak awal menikah, suami setuju untuk tinggal di rumah saya, eh rumah orangtua saya. Karena di rumah orangtuanya sudah ada kakak ipar yang bermukim disana.

Menurut kepercayaan orang jawa kuno, dalam 1 rumah tak boleh ada 3 kepala keluarga. Nanti rejekinya seret. Kalau dipikir-pikir benar juga, karena semakin banyak orang di satu rumah, semakin rawan konflik. Dan itu bisa mempengaruhi mood dalam bekerja.

Memang ada banyak sisi positif dari nebeng di rumah Mama. Misalnya:

1. Orangtua tak perlu jauh-jauh pergi untuk menengok cucu  (anak kami). Sudah menjadi rahasia umum bahwa cucu lebih dimanjakan daripada anak. Apalagi cucunya baru 1 orang, laki-laki pula. Ia berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya. Pernah kami menginap di rumah mertua selama 4 hari, kata Ayah saya " kok lama sekali ya".

2. Menghemat pengeluaran untuk biaya sewa rumah.

3. Bisa ketemu orangtua tiap hari. Saya tipe yang tak bisa jauh-jauh dari orangtua. Kuliah tetap di Malang saja. Bahkan dulu waktu kkn yang durasinya cuma 2 bulan, sering ijin pulang.

4. Ada pembantu yang beres beres rumah, mencuci, dll. Sehingga saya bisa fokus mendidik anak. Apalagi bocah ini suka berlari kesana kemari. Tak mungkinlah saya bisa mencuci piring sambil mengejarnya. Selain itu, tak perlu takut kelaparan (apalagi setelah capek menulis), makanan selalu tersedia. Juga ada banyak waktu untuk membantu bisnis suami  (percetakan) saya bisa mengurus keuangan dan promosi dengan maksimal.


Tapi tentu saja ada sisi negatifnya:

1. Tidak ada privacy--kalo sudah nikah gak boleh cerita keburukan suami ke hadapan ortu. Padahal papa selalu dapat membaca ekspresi saya.

Jika sudah tinggal di kontrakan, lebih banyak space untuk olahraga. Memang sih, di lantai 2 ada kamar tamu yang tak berpenghuni. tiap pagi saya olahraga di sana. tapi sebentar lagi kamar itu akan diisi oleh adik sepupu yang kuliah di malang. Waduh, terpaksa cari tempat lain. Jika saja saya sudah ada di rumah kontrakan sendiri, bisa olahraga di ruang tamu, tanpa takut ada yang mengintip maupun menggoda.

2. Kamar yang kami huni berukuran 2,5x3 meter, terasa sempit untuk bertiga. Kasur nomor 2 seakan tak muat lagi. Harusnya kami tidur di ranjang ukuran king size. Ya, kami memang tidur bertiga, karena anak kami masih menyusui. Namun anak ini memang lincah saat bangun maupun tidur. Saat ditidurkan di tengah kasur, dia hobi menyepak ayahnya sehingga harus mojok di tempat tidur. Seandainya kami menyewa rumah sendiri, yang punya kamar utama dengan ukuran yang lebih besar, pasti bisa muat untuk kasur ekstra besar. Lebih leluasa untuk tidur dan istirahat.

3. Tidak lagi mengganggu ketenangan Papa. Ayah saya , seorang mantan wartawan, kini menjadi pengajar di jurusan komunikasi, pada beberapa kampus swasta. Ketika beliau menulis materi kuliah, kadang terganggu oleh tamu maupun klien yang datang ke rumah. Ya, kami mempunyai bisnis percetakan, sehingga ada saja klien yang datang untuk memesan dan melihat contoh undangan.

Belum lagi kawan kawan suami yang suka bertamu hingga tengah malam. Plus, sekarang suami berbisnis sampingan memproduksi plus menjual batu akik. Jadi suara gerinda NGIIIN NGIIING bisa mengagetkan dan memecah gendang telinga Papa.

4. Ada campur tangan dalam pengasuhan anak. Duluu, saat anak saya masih berusia 3 bulan, sempat perang dingin dengan ibunda. Karena beliau akan menyuapi cucunya dengan pisang. Padahal bayi seharusnya diberi makan saat usianya 6 bulan kan. Saya takut akan bahaya mpasi dini, bisa sembelit, obesitas, bahkan sakit parah, karena ususnya lengket kena getahnya pisang.

Sampai sampai sang bayi disembunyikan saja di dalam kamar. Takutnya jika ia tertidur di box bayi yang terletak di ruang tengah, diam diam disuapi pisang; oleh neneknya atau pembantu rumah tangga. Untungnya ada seorang Tante yang cerita kalau di pulau dewata banyak dokter yang menangani bayi yang kena mpasi dini, 90% dari mereka meninggal dunia.

5. Manja. Ada emak (pembantu) yang siap siaga mencucikan baju, menyeterika, memasak. Bangun pagi tinggal shalat, mandi, lalu sarapan. Terima beres. Tapi kalau begini kapan saya bisa menyeterika? Kapan mandirinya?

Kemanjaan ini juga salah satu faktor yang membuat GENDUT. Hahay, maaf ditulisnya pakai huruf besar. Setelah melahirkan, saya memang bekerja dari rumah (sebagai marketing online) dan sekali-kali menerjemahkan dari bahasa inggris ke bahasa indonesia. Karena saya online sambil duduk dan semua pekerjaan rumah dihandle pembantu, jadi jarang menggerakkan badan untuk beberes atau menyapu. Jarum timbangan pun bergerak naik ke kanan pelan pelan..So sad..

Papa juga sangat sayang pada cucunya, kadang kadang menyodori selembar uang berwarna biru. Katanya untuk beli susu. Memang rejeki sih, tapi takutnya nanti saya kebiasaan terlalu bergantung pada orangtua dan malas berusaha sendiri.


Jadi, daripada nggerundel dan mengeluh, lebih baik memikirkan solusinya:

1. Lebih rajin menabung. Kalau nabung di bank kok uangnya gak terkumpul ya? Ya iyalah, karena rekening itu untuk transaksi bisnis, bukan untuk pengendapan. Cashflow percetakan tergantung dari rekening itu. Jadinya saya membeli celengan plastik dan menyisihkan uang setiap kali habis belanja harian. Walaupun hanya seribu dua ribu, tapi sedikit-dikit lama lama jadi bukit . Betul kan?

2. Membaca koran maupun grup "sewa/kontrak rumah" di fb. Siapa tau ada informasi rumah yang disewakan dengan harga terjangkau. Kalaupun belum terjangkau, tidak apa-apa. Paling tidak kami sudah memiliki gambaran, nanti kalau kontrak rumah di kampung atau perumahan, kisaran harganya berapa.

3. Lebih rajin berusaha dan bekerja. Memaksimalkan fungsi media sosial, dijadikan ajang promosi bagi percetakan. Selain itu saya harus lebih disiplin menulis dan tentu saja membaca. Semoga menang banyak giveaway tahun ini, dan cerpen saya bisa dimuat lagi di media cetak.



4. Mengurangi pengeluaran. Dulu, beli siomay atau bakso bisa seminggu 3 kali. Tapi sekarang kalau mau ngemil, makan sayuran rebus atau buah saja. Sekalian diniatkan diet dan menghemat, hehehe.

5. Berdoa lebih khusyuk. Kepada siapa lagi kami meminta kalau bukan pada-Nya. Setiap habis sembahyang, selalu terselip doa, semoga rejeki kami dimudahkan untuk pindah rumah. Amin.

Postingan ini diikutsertakan dalam #evrinaspGiveaway: Wujudkan Impian Mu

6 komentar:

  1. Kalau saya dari awal menikah langsung keluar dari rumah orang tua, walaupun susah dan sempit-sempitan di kontrakan kami sangat bahagia.

    BalasHapus
  2. Semoga lekas terwujud impiannya ya Zen, meski tinggal sama ortu sendiri pasti ada gesekan-gesekan yg bkin tak nyaman.

    BalasHapus
  3. lebih enak hidup terpisah dengan ortu......soal rejeki juga lebih lancar...coba saja

    BalasHapus