Sabtu, 30 Juli 2016

Cinta Dalam Sepanci Opor

"Kriing!"

Suara telepon memekik di pagi buta. Aku menggosok-gosok mata lalu menguap, masih setengah mengantuk. Tapi dering telepon memaksaku untuk bangun dari tempat tidur. Kuangkat telepon itu, apa dari Mama?

"Assalamualaikum"
"Waalaikum Salam. Mbak"
Lho, bukan suara Mama?
"Ini Bu Anto. Mbak, opornya sudah matang. Silahkan diambil ke rumah, mumpung saya belum berangkat shalat Ied"
Hah?? O....por?
"Bu, maaf, saya kan tidak pesan"
"Iya Mbak, Mama yang pesan, dan sudah dibayar"
"Baik bu, saya ambil sekarang. Assalamualaikum"
Lalu telepon terputus.

Kusambar kerudung, lalu bergegas ke luar rumah, menuju warung Bu Anto. Udara dingin yang menusuk tulang tak memperlambat langkahku. Bu Anto memberikan kresek merah, berisi opor, sambal goreng kentang ati, dan beberapa buah lontong. Aku mengucapkan terimakasih, lalu bergegas pulang. Hendak mandi dan siap-siap shalat Ied.

 Air mata merembes di sudut pipi. Ya Allah, alhamdulillah. Mungkin Mama khawatir aku tak sempat memasak opor lebaran, karena sibuk menjaga anakku Saladin yang hobi memanjat lemari. Sehingga beliau memesankan opor dan sambal goreng untukku.


                                                      

Aku menangis karena di saat berjauhan, beliau masih memikirkanku. Sudah lima lebaran ini aku tak sungkem pada Mama, karena beliau berlebaran di Jepara. Sedangkan aku merayakan hari raya di rumah mertua, di Polowijen - Kota Malang. 

Bukannya aku tak mau mudik ke tempat Kakekku di Jepara, tapi  kekhawatiranku akan Saladin membuatku tertahan di Malang. Kalau mudik, kami harus melewati jalur pantura yang panas dan macet, takutnya Saladin kegerahan dan bosan di jalan. Lebih aman lebaran di Malang, karena rumah mertua hanya berbeda kecamatan dengan rumahku. Jika naik sepeda motor, hanya butuh 30 menit perjalanan. Lagipula, berlebaran di Malang membuatku bebas dari omelan Mama. 

Dulu aku menganggap Mama lebih sayang pada adik laki-lakiku. Kini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan BUMN di Jakarta. Sedangkan aku memilih untuk jadi ibu rumah tangga.  Berkali-kali beliau menawariku, apa mau kuliah S2 lalu berkarir jadi dosen. Tapi semua rayuannya tak membuatku tertarik, aku hanya ingin mengurus keluarga kecilku. Jadi hubungan kami memanas, seperti tikus dan kucing.

Aku tebak, beliau lebih bangga dan sayang pada anak keduanya daripada aku yang cuma mengurus suami dan bocah kecil di rumah. Tapi tengah gema takbir lebaran, semua prasangka jadi hilang. Terbakar oleh cinta di dalam sepanci opor. Mama juga menyayangiku, meskipun beliau jarang mengatakannya di depanku. Ya, mungkin beliau bisa menelepon atau aku wa, dengan android #4GinAja.

Usai shalat Ied, kupotong lontong, kuguyur kuah opor di atasnya. Sambil makan, aku mendengar lagu "Kasih Ibu" yang terekam dalam ingatanku

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya, menyinari dunia

Ibu hanya berniat memberi cinta, walau dalam bentuk yang tidak dimengerti oleh anaknya. Lebaran ini berasa segurih opor, karena semua pikiran jelekku tentang Mama luluh, oleh perhatian dan kejutan dari Mama.

Tiba-tiba aku teringat almarhumah Nenek, beliau meninggal april lalu. Jadi tahun ini adalah lebaran pertama Mama tanpa ibunya. Akankah aku bisa berlebaran dengan Mama tahun depan? Ah, aku takut tak ada lagi kesempatan untuk berbakti padanya. 


                                                        Mama (kerudung biru) dan Nenek (alm)

Mulai hari itu, 1 Syawal 1437 Hijriah, aku bertekad untuk lebih menyayangi Mama. Mungkin aku belum bisa membelikan gelang emas. Tapi aku akan berusaha untuk berkata "ya" pada setiap perintahnya, dan tidak membantah. Alhamdulillah, lebaran tahun ini benar-benar penuh hikmah.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Lebaran Seru 


Selasa, 19 Juli 2016

Saat Suamiku Lebih Pintar Masak

Laki laki masuk dapur? Mungkin kalau di hotel atau restoran, ada chef laki-laki. Tapi kalau di rumah? 

Apa yang anda bayangkan jika yang memasak setiap hari adalah sang suami, bukan istri? Jika ada yang menganut faham bahwa laki-laki adalah raja yang harus dilayani sebaik-baiknya, dipijat, dimasakkan, disayang, mungkin mereka akan mengernyitkan dahi.

Kali ini saya mewawancarai mba Vivian Wijaya, seorang pebisnis dari Kota Malang. Ale Wijaya, sang suami, dikenal jago masak. Beliau selalu sibuk di dapur untuk membuat menu spesial bagi istri dan kedua buah hatinya, Aisy dan Key. Sang istri bisa memasak, tapi menurutnya masakannya itu terlalu memakai perasaan, sehingga beliau mempercayakan urusan dapur kepada sang suami.


(dari kanan ) Mbak Vivi, Key, Aisy, dan Mas Ale


Dulu sebelum menikah, mba Vivi belum tahu jika sang calon suami lihai memasak. Kini mba Vivi bahagia karena belahan hatinya sangat terampil menggoreng ikan, menumis sayuran, bahkan membuat pizza! Pizza ini dijual dengan brand Key's Pizza. Saya pernah makan pizza nya dan alhamdulillah uenakk, lumer dan cheesy banget.

Pasangan yang telah menikah selama hampir 8 tahun ini juga kompak mendidik anak. Meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun Key sudah diajarkan untuk menjaga kebersihan dengan cara menyapu. *Ya, memang betul, bagi saya tak ada yang namanya pekerjaan perempuan atau pekerjaan laki-laki--kecuali melahirkan yach :p*

Jika Key sudah agak besar, ia akan diajari memasak oleh sang ayah, dengan senang hati. Memasak akan membuat anak lebih mandiri, dan sebagai muslim, anak akan memilih makanan sehat, halal dan thoyib.

Makanan sehat seperti lumpia sayuran diolah mas Ale sebagai snack untuk putri dan putranya. Makanan rumahan lebih higienis dan terjamin, ketimbang beli di luar. Di balik hobi memasaknya, mas Ale ingin keluarganya lebih sehat dengan makan homemade food.
Walaupun ada orang yang berkomentar negatif, karena menganggap lelaki yang masuk dapur itu tabu, mas Ale bergeming. Bukankah Nabi Muhammad juga membantu istrinya di rumah? Memasak adalah caranya meringankan tugas istri dan mengekspresikan cinta untuk keluarganya.

Minggu, 17 Juli 2016

Penghargaan Hanyalah Bonus

Terik matahari mulai membakar, kerumunan orang menyemut di pinggir lapangan. Aku menajamkan telinga, lalu speaker bergema, “ juara 3 adalah peserta nomor 9, juara 2, peserta nomor 18 ”. Dua wanita sintal segera naik panggung. Aku bergumam, apakah akan gagal lagi di lomba senam kali ini? Tiba tiba juri mengumandangkan pengumuman lagi, “ juara 1 adalah..peserta nomor 27! ”. Hah? Aku melihat nomor peserta yang tersemat di baju, setengah tak percaya. Lalu berlari senang, meloncat ke atas panggung.

Akhirnya aku meraih juara 1 di lomba senam yang diselenggarakan di lapangan Rampal. Mbak Farida, salah seorang juri, menyerahkan hadiah. Sebuah amplop putih yang bertuliskan sponsor lomba, salah satu koran lokal Jawa Timur. Kuintip amplop itu, syukurlah, isinya seratus ribu. Tak percuma aku berpeluh keringat, berlaga selama hampir 90 menit.

Kemenangan ini datang setelah tiga kali menelan pil pahit bernama kekalahan. Kuharap penghargaan ini membuat Mama bangga. Sampai di rumah, kuperlihatkan hadiah lomba pada beliau. Tapi apa yang terjadi? Mama hanya mengucapkan “ selamat ”, lalu meraih koran yang tergeletak di sofa. Lalu beliau menatapku tanpa ekspresi.

Aku sudah berada di puncak gunung kesuksesan, tapi reaksi Mama membuatku tergelinding ke dalam jurang. Prestasi yang kuraih setelah berpeluh keringat di fitness center, meregangkan badan, terengah-engah mengikuti gerakan high impact, menghafal koreo, tak berarti apa-apa baginya.

Di kamar, tangisku hampir pecah. Kuremas-remas amplop hadiah, lalu “pluk!”, terlempar ke tempat sampah. Apa yang harus kulakukan agar Mama bangga padaku? Bahkan dulu beliau berpesan untuk mengurangi frekuensi latihanku. Katanya, anak perempuan tak boleh sering-sering keluar rumah. Mungkin beliau akan setuju aku sering keluar rumah untuk belanja, ketika punya voucher belanja Sodexo.

Saat itu aku menyambangi fitness center enam kali dalam seminggu, karena ingin sekali menang lomba. Hampir semua pusat kebugaran di Kota Malang kudatangi, untuk mendapat koreografi baru, dengan instruktur senam yang berbeda-beda. Waktu luangku kuisi dengan berolahraga, karena kala itu aku baru saja lulus kuliah dan belum mendapat pekerjaan. Daripada bengong di rumah, lebih baik berlatih fisik di gym, lalu berjalan-jalan ke Merchant Sodexo.

Tapi Mama tak melihatnya sebagai aktivitas positif. Beliau ingin aku bekerja kantoran, secepatnya. Sudah belasan surat lamaran yang kulayangkan, tapi belum ada panggilan. Pekerjaan sampinganku sebagai penerjemah lepas tak dianggap sebagai karir yang membanggakan. 

Bangga? Apa yang selama ini aku kejar? Apakah aku ingin meraih berbagai penghargaan agar Mama bangga pada anak perempuan satu-satunya? Kupejamkan mata, lalu merenung.

Malamnya aku menghela nafas, lalu Tuhan sang pemilik hati membawaku ke satu titik, ternyata penghargaan tak berarti apa-apa. Hati ini sudah ikhlas jika Mama tidak menghargai kemenanganku. Yang penting, aku sudah mengumpulkan tekad untuk mengikuti lomba, dan berlatih keras demi meraih gelar juara.  Penghargaan hanyalah simbol kesuksesan. Di balik itu, aku belajar. Lebih penting untuk menghargai proses untuk mendapat penghargaan, daripada hasilnya.

Penghargaan hanyalah bonus semata. Ada banyak keuntungan lain ketika aku masih dalam proses untuk meraih penghargaan.  Selama latihan, aku belajar disiplin waktu, harus datang jam 7:30 pagi di fitness center. Lihatlah siluet tubuhku yang terpancar di cermin! Hasil latihan membuat berat badanku stabil di angka 55. Meski perutku belum six-pack, tapi  kerampingan ini membuatku tak pusing mencari ukuran baju yang pas. Makan sebanyak apapun, tak masalah, karena esoknya aku akan membakar kalori di gym. Kakiku yang kulatih di alat bench press, tak rewel jika kubawa berjalan sejauh 2 kilometer.

Aku bersyukur di setiap hela nafas, pada tetes keringat yang mengucur di dahi pasca olahraga. Senyum akan selalu terkembang, latihan ini sudah membuatku lebih bugar, dan menikmati anugerah kesehatan yang diberikan oleh Tuhan. Semangatku untuk tetap mengikuti lomba, berkali-kali, membuatku belajar untuk pantang menyerah. Semua ini jauh lebih bermakna daripada sebuah kata bernama “penghargaan”.

Penghargaan tak berarti apa-apa ketika manusia menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Mereka bisa menyogok dewan juri atau saling jegal. Lebih baik kalah terhormat, daripada mendapatkan penghargaan dengan cara curang.



Sabtu, 25 Juni 2016

Arti Sebuah Kata Maaf

Breng!
Aku memeluk pinggangnya erat-erat. Motor dilarikan menembus gang-gang kecil di jalan Tlogomas. "Sabar ya nak, ayahmu sedang menundukkan izazil di dalam hatinya", bisikku pada janin yang ada di rahim. Kami baru saja berkunjung ke rumah Budhe, di hari pertama Lebaran. Di sana tak ada candaan semanis nastar. Namun kami terpaksa menelan sarkasme sepahit kopi tubruk tanpa gula.

"Memangnya kamu bisa masak?", selidik Budhe. Sebagai pengantin baru, wajar jika aku sering ditanyai hal itu. Tapi suamiku tak terima ketika Budhe meneruskan kalimatnya, "Vina itu dari kecil cuma doyan baca buku. Gak becus beberes rumah, apalagi masak!". Senyumnya menguncup, lalu ia mengajakku pulang.

Lalu ia menumpahkan amarahnya di perjalanan, "Aku kapok pergi ke sana! Istriku dibilang gak bisa apa-apa!". Ketika ia meneruskan omelannya, tak terasa air mata meluncur. "Sudahlah Mas, ini malam lebaran, kok marah-marah?", isakku. Namun ia tetap berhati panas.

Ketika motor hendak belok ke arah Gang patung pesawat, aku berteriak, "Ya sudah, kita pulang saja! Tak usah pergi ke rumah ibuk!". Memang kami berencana mengunjungi rumah ibu mertua. Sebenarnya tadi pagi kami sudah sowan ke sana, tapi ibu mertua menelepon agar kami datang lagi. Karena kakak ipar yang bermukim di Jombang baru saja datang.

Tapi ucapanku malah semakin mengobarkan api di dalam hatinya. Motor dilaju lebih cepat. Sepanjang malam aku hanya bisa memandang rembulan sambil berurai air mata. Sampai rumah, ia langsung masuk ke ruang kerja, lalu merokok. Aku naik ke lantai 2, meneruskan tangisku di kamar.

Paginya aku turun dari kasur, hendak mengambil air wudhu. Seusai sholat, kulihat ia sudah terbangun.Kuberanikan diri untuk memulai percakapan, "Mas mau kopi? Atau nasi goreng?". Mulutnya masih terkunci, lalu ia pergi berwudhu dan sembahyang di musholla rumah.

Setelah beribadah tiba-tiba ia menghampiriku, walau senyumnya belum mengembang. Aku meminta maaf terlebih dahulu, "maaf ya mas, kemarin Budhe seperti itu. Ia hanya tahu kebiasaanku waktu kecil. Tapi sekarang aku sudah berusia 25 tahun, dan berubah drastis".

Tangisku pun meledak lagi. Ya Allah, mengapa aku harus sedih di hari raya? Tiba tiba tangannya yang besar memelukku dari belakang. Ia berbisik, "maaf ya sayang, semalam aku tak terkendali. Padahal sayang sedang mengandung, nanti didengar anak kita".

Kamipun berpelukan erat. Ternyata semua ini hanya salah faham. Ia marah karena membelaku. Tapi aku sedang hamil, jadi perasaanku lebih sensitif, dan menganggapnya marah padaku.

Kejadian ini membuatku sadar akan arti sebuah kata maaf. Minta maaf bukanlah hal yang dilakukan hanya saat lebaran. Tapi wajib dilakukan saat merasa bersalah. Mungkin dulu aku banyak melakukan kesalahan, tapi suamiku sudah memaafkanku dalam hati. Seringkali ego yang meraja di hati, melarang kita untuk meminta maaf. Padahal maaf adalah tanda kebesaran hati dan kebijaksanaan. 



“Tulisan ini diikutsertakandalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”

Rabu, 22 Juni 2016

Terbangun Dari Koma Setelah Mendengar Azan Subuh

Pyar! Cahaya yang tersorot dari atas, menyilaukan mata. Udara dingin menyergap tubuh kurusku. 
Aku berjalan menuju lorong putih tak berujung. Tak ada manusia, tumbuhan, maupun hewan. Membangkitkan perasaan aneh. Dimana aku?

Apa aku sudah dikubur? Atau sudah berada di surga, atau jangan jangan neraka? Mana malaikat Munkar dan Nakir? 

Tiba tiba kakiku bersentuhan dengan ranjang besi yang dingin, kulihat tembok putih yang bercampur dengan aroma kloroform. Aih, rupanya ini rumah sakit, bukan surga. Berarti aku belum mati. Tapi jika aku masih hidup, mengapa aku tak kuat berdiri, di mana ibuku?

Tiba tiba ada dua sosok bercahaya, apa itu mereka? Sosok pertama mengenakan baju biru, sedangkan sosok kedua berpakaian merah. Tampang mereka tak seperti yang kubayangkan, tak ada sayap di bahu, atau mantel gelap yang menutupi wajahnya. Rupanya wujud malaikat tak seseram yang diduga orang. Tapi apa benar mereka adalah malaikat Munkar dan Nakir?

Apa yang akan mereka lakukan? Apakah aku akan dicambuk karena bergelimang dosa? Mana tali yang akan membungkam mulutku, sehingga yang berbicara adalah tangan dan kakiku? Mengakui segala perbuatanku, tubuh ini sudah dibawa ke mana saja, ke masjid atau tempat hiburan malam?

Tapi mereka tak membawa cambuk maupun tali. Setelah mendekat, mereka bercakap dengan bahasa yang tak kuketahui. Sosok merah duduk dengan santai di ujung kaki kiri, sedangkan sosok biru berada di ujung kanan. Setelah mengobrol, si merah mengisyaratkan sang biru agar berjalan ke bangsal sebelah, sementara ia menungguiku. Dari kejauhan, sosok biru itu seolah berkata dengan ekspresi  wajahnya, "waktunya belum tiba". Seolah olah saat itu ada kesepakatan bahwa aku diberi sambungan nyawa.

"Allahu akbar..allahu akbar"
Alhamdulillah, sudah adzan. Seolah ada kekuatan yang membuka pelupuk mataku. Kulirik jam dinding, sudah jam 4:30 pagi. Udara Tenggarong di pagi hari cukup sejuk. Aku meraba pinggir ranjang, hendak turun untuk berwudu.Tapi apa yang ada di tanganku? Selang? Ah, rupanya selang infus. Aku tidak bermimpi ada di rumah sakit, ternyata aku memang diopname. 

Tapi kaki ini  seakan digelayuti beban dua ton, akhirnya aku tayamum saja, meraba-raba tiang infus untuk mencari debu. Kulirik ibuku yang tertidur di kursi. Wajahnya yang berhias keriput, tampak kuyu dan sendu. Aku sungguh tak tega untuk membangunkannya. 

Setelah shalat subuh, mata ini terasa berat kembali, hmm mungkin aku sebaiknya beristirahat lagi agar cepat sembuh. Tapi aku tak lagi menemui sosok merah dan biru itu, tak ada mimpi apa apa, hanya merasa damai.

Lalu...
"Allahu akbar..allahu akbar"
Rupanya sudah azan lagi. Bersyukur telinga dan mata ini masih berfungsi. Lalu kulirik jam dinding. Astaghfirullah, sudah jam 3 WITA! Sudah ashar, kukira azan dhuhur. Kuucapkan istighfar sekali lagi. 

Mengapa aku senang ketika dihidupkan kembali? Harusnya aku bersyukur jika sewaktu waktu malaikat maut mencabut nyawaku, karena insyaAllah akan mati syahid. Aku meninggal ketika memperjuangkan pembangunan pondok pesantren. Tapi takdir berkata lain.

"Aji..Aji". Tiba tiba ibu memelukku, air mata meluncur dari kedua sudut matanya. 
"Ibu, aku hanya tertidur seharian, mengapa menangis?"
Ibu terisak isak lalu berbisik,
"Kamu tidak tidur nak, ini di ICU. Kamu dinyatakan koma dan tidak sadarkan diri selama tujuh hari!

Aku koma? Rasanya hanya seperti mimpi. Benarkah dua sosok yang kutemui itu malaikat? Hanya Allah yang tahu, lagipula saat itu aku tak sanggup menanyai mereka. Jika aku menanyainya, apakah ia akan mengerti bahasa manusia?

"Oleh dokter kamu dinyatakan kena komplikasi, sakit malaria dan tipes."

Ingin ku tertawa terbahak-bahak, tapi kutahan karena tak ingin membuat ibuku bingung. Umurku belum 30, tapi sudah kena komplikasi? Dengan susah payah kutahan tawa di mulut

"Sudah minum dulu nak, selama seminggu kamu gak makan, nutrisi yg masuk hanya lewat infus."

Gluk..glukk..Sambil minum aku menggali memori sebelum koma. 
Aku hanya ingat masku yang segera membawa mobil sedannya, menembus jalan berlumpur, menuju pondok. Beliau menjemputku karena disuruh ibu untuk menengok keadaanku, sudah tiga hari aku tak pulang ke rumah. Saat itu, demam merajai tubuhku, aku hanya sanggup berbaring di lantai beralas tikar. Saat aku dibopong, dan pintu mobil terbuka, lalu mataku byarr..Semuanya gelap..

Padahal dua hari sebelum koma, aku masih memancing ikan di sungai Mahakam. Ikan itu akan menjadi hidangan bagi para tamu di resepsi pernikahan Andi, sahabatku. Kami sama sama merantau dari Jawa. Bedanya, aku tinggal bersama ibu di pondok kayu yang berada di tengah tanah garapan milik Kakakku. Sedangkan ia tak punya sanak keluarga di Borneo. 

Setelah memancing, aku sibuk mengambil pisau, untuk membersihkan ikan, lalu memasaknya. Rasa lelah setelah semalaman mengajar Bahasa Inggris di salah satu Pondok Pesantren di pinggiran kota Tenggarong tak kuhiraukan. Padahal hari sebelumnya, aku tak sempat tidur barang sekejap. Sepuluh santri di Pondok menjadi tanggunganku. Dengan sigap aku membawa parang, hendak mencari daun pisang dan kayu bakar, untuk ditukar dengan beras dan ikan asin.

Mungkinkah aku koma karena terkena gigitan nyamuk malaria yang bersarang di lebatnya hutan Kalimantan? Atau tubuhku ini hanya menuntut istirahat panjang, karena terlalu lelah setelah bekerja dan mengajar? Entahlah..

Esoknya aku dipindah ke ruangan perawatan biasa. Lalu ibu berjanji, setelah sembuh beliau akan mengajakku kembali ke tanah jawa. Rupanya Allah memberiku sakit ini sebagai jalan agar aku meninggalkan hijaunya Borneo. Semoga nanti kakakku mau membantu para santri di pondok, karena aku tak kuat lagi menanggung logistik mereka.

Selamat tinggal Tenggarong! Kuucapkan kalimat itu dalam hati, ketika menginjakkan bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan. Sebelum naik pesawat, aku iseng naik ke timbangan barang. Berat badanku merosot sampai 7 kg setelah tujuh hari koma!

Sekarang aku mengabdikan diri sebagai pengajar di sebuah madrasah diniyah. Semangat anak-anak yang belajar mengaji, diselingi canda mereka, menghangatkan hatiku. Walau hanya dibayar seratus ribu rupiah per bulan, bagiku itu sudah cukup. Allah telah memberiku kesempatan kedua, setelah kesadaran ini dikembalikan lewat panggilan-Nya.

Nyawa sambungan ini tak akan kusia-siakan. Ilmu akan kutularkan pada mereka, walau aku tak pernah belajar agama secara formal. Bukankah Rasul bersabda, sampaikanlah walau satu ayat? Aku bersyukur telah mengalami kejadian yang tak bisa dirasakan oleh semua orang.

*Seperti yang diceritakan oleh Aji Narasimhamurti, suami saya




 

Jumat, 17 Juni 2016

Anakku Dikira Bisu Karena Kecanduan Gadget

"Lho, anaknya bisa ngomong? Aku kira dia bisu!"

Siapa yang tak sakit hati jika anaknya diledek seperti itu? Apalagi oleh tetangga sendiri. Putra saya, Saladin memang sudah berusia 3,5 tahun, tapi dia jarang sekali mengeluarkan kata -kata dari mulutnya. Paling paling hanya ayah, mama, maem, jajan. Kosakatanya tidak bertambah selama dua tahun terakhir. Saking irit ngomongnya, sampai sampai ia dikira tuna wicara!

Umumnya anak bisa berbicara lancar saat berusia 2 tahun. Namun mengapa ia belum bisa ngomong? Dulu saya kira ia adalah anak pendiam, atau memang malas berbicara, seperti ayahnya. Tapi jangan jangan ia belum bisa berkomunikasi dengan baik, karena ada masalah di pendengarannya? Atau ia adalah anak autis?

Akhirnya Saladin dibawa ke sebuah rumah sakit, menuju praktek dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, syukurlah, ternyata tak ada kelainan apa-apa di telinganya. Tapi nenek Saladin yang masih penasaran, membujuk untuk konsultasi ke sebuah Klinik Tumbuh Kembang.

Ruangan klinik yang senyap serasa meneror hati, apa yang harus dikatakan? Tapi senyum Pak Psikolog yang mengembang benar-benar menentramkan hati. Ia mempersilahkan untuk mencurahkan isi hati. Lalu saya bercerita tentang kekhawatiran Nenek Saladin, apakah ia autis, atau hiperaktif. Mengingat hobinya memanjat pohon, suka berlari, bahkan nekat menyeberang jalan sendiri.

Satu pertanyaan yang meluncur bagai bom atom, meluncur dari mulut beliau.

"Apakah Saladin menonton televisi lebih dari satu jam dalam sehari?"

Saya hanya bisa menjawab "ya". Sambil mengingat, berapa jam dalam sehari, durasi Saladin menonton televisi? Ya Tuhan, secara tak sadar saya menjadikan anak tunggalku budak televisi, karena ia betah menonton  dari pagi hingga malam. Saya biarkan ia menonton tv karena saat itu ia bisa anteng, duduk diam dan memelototi layar. Sementara saya asyik bercengkrama dengan smartphone.



Ponsel android ini menjadi andalan saya dalam bekerja, karena ada toko online yang saya kelola. Jadi saya harus sering sering online di ig dan fb, berpromosi, membalas inbox dari pembeli dompet cantik, atau mengecek apakah ada pesanan melalui BBM. Setelah berpromosi, smartphone ini tidak saya letakkan, tapi saya malah asyik berkomentar di status teman-teman, atau ketawa ketiwi di grup wa.

Ketika Saladin bosan dengan suatu program di televisi, ia memencet mencet tombol dan mengganti channel senaknya. Lalu bocah itu merebut smartphone dari tangan saya, menyetel musik, dan belajar memotret. Saat jenuh, maka dengan sigap ia memanjat kursi sebagai tumpuan, menuju ke atas lemari yang tingginya dua meter! Di sana ia tidak menangis, malah meringis dan berdiri, lalu fashion show di atas lemari!



Dan akhirnya saya menyadari kesalahan terbesar: Saladin terlihat seperti seorang hiperaktif dan bisu karena ia mencari perhatian dari mamanya, dan kurang diberi stimulasi. Memanjat adalah caranya untuk meminta perhatian saya. Mata yang tadinya terpaku pada layar smartphone harus beralih ke Saladin, ketika ia berada di atas lemari. Ia tidak nakal, hanya kurang kasih sayang.

Lalu ketika ia menonton televisi atau menonton video di hp terlalu lama, ia asyik sendiri. Seolah olah tersedot dengan dunia di dalam layar. Komunikasi satu arah dari televisi membuatnya kesulitan berkomunikasi dua arah. Ditambah lagi, saya jarang mengajaknya mengobrol, ia asyik bercengkrama dengan tv, sementara saya tak bisa lepas dari smartphone.

Hanya satu hal yang membuat saya lega: Saladin dinyatakan bukan anak autis maupun hiperaktif. Karena tidak ada tanda tanda anak autis pada dirinya. Ia hanya overaktif, dan hal ini wajar karena anak balita memang sedang lincah lincahnya. Anak overaktif sepintas mirip dengan anak hiperaktif. Anak yang overaktif meskipun gerakannya sangat lincah masih memiliki tujuan (misalnya, ingin mengambil kue di atas lemari). Kontak matanya pun ada, sementara anak hiperaktif tidak memiliki kontak mata.

Apa yang harus saya lakukan? Kata Pak Psikolog, yang pertama adalah matikan televisi. Bermain game di smartphone, laptop, maupun pc, juga tidak boleh. Diharamkan juga menonton video di youtube. Selain berpotensi membuat matanya juling, bisa membuatnya jadi egois, susah mengimitasi kata yang saya ucapkan, dan atensinya kurang.

Anak yang kecanduan gadget (televisi, smartphone, laptop, dan PC) berpotensi jadi egois karena ia bisa mengendalikan gadget itu seenaknya. Saat bosan, tinggal mengganti channel TV. Mengganti lagu yang ingin didengar dari smartphone juga mudah sekali, tinggal geser geser layarnya.

Jadi anak berharap semua orang menuruti keinginannya, mengendalikan sekitar, seperti caranya menguasai gadget. Jika keinginannya tidak dituruti, tantrum menjadi senjatanya untuk mendapatkan benda yang ia dambakan.Selama ini, jika Saladin marah, maka saya atau neneknya segera memberinya permen atau mengajaknya ke minimarket untuk membeli eskrim. Ternyata perilaku kami salah besar. Anak jadi berpikir, dengan amarah, ia mendapatkan hadiah, tak usah berkomunikasi untuk meminta makanan.

Semua orang yang ada di rumah juga harus bekerja sama, jadi televisi dimatikan ketika ia terjaga. Ketika Saladin bangun, ia tidak boleh meminjam hp dan laptop. Dua hari tidak menonton televisi membuat saya merasa aneh, tapi lama lama biasa. Saladin akhirnya mau diajak bermain menyusun balok dan puzzle. Sementara kelincahannya bisa disalurkan ke bidang olahraga, misalnya berlari, berenang dan bersepeda.

Jalan untuk terapi Saladin dipermudah setelah smartphone saya rusak. Inilah cara Tuhan untuk meredakan kecanduan gadget (nomophobia-no mobile phone phobia) yang bertahun tahun saya idap.Saya bisa fokus mengobrol dan membacakan cerita untuk Saladin.

Lalu saya membuat keputusan ekstrim: menutup toko online. Barang dagangan yang tersisa didiskon habis-habisan, dan saya hanya boleh online di PC selama anak tidur. Uang bisa dicari, tapi kesempatan untuk mendidik anak tidak bisa diulang. Apalagi Saladin memasuki masa golden age, masa keemasan dimana ia mudah sekali menyerap ilmu pengetahuan dari lingkungan sekitarnya.

Syukurlah sekarang Saladin mulai bisa mengimitasi kata kata yang saya ajarkan. Kami sering menyanyi dan membaca majalah anak-anak bersama. Jika ada orang lain yang ketahuan menonton tv, langsung ia matikan :D.

Saya tidak anti pada kemajuan teknologi televisi dan smartphone. Melalui televisi, kita bisa dapat hiburan dan mengetahui berita dari dalam maupun luar negeri. Jika ada smartphone tentu mempermudah komunikasi dan membuat pemilik toko online terbantu dengan fasilitas bbm, wa, dan sosial media. Bahkan ada tukang sayur yang siap mengirim pesanan melalui wa.

Tapi tentu saja semua itu harus dikendalikan. Balita boleh menonton televisi tapi maksimal satu jam dalam sehari. Biarkan mereka bermain di lapangan atau bersepeda di samping rumah.

Jangan sampai smartphone dan gadget menguasai kita, membuat kita terpaku berjam-jam menatap layar. Pernahkah anda melihat kumpulan orang yang makan di restoran? Mereka tidak mengobrol tapi asyik dengan hp masing masing. Smartphone bisa mendekatkan teman yang jauh, tapi juga bisa menjauhkan yang dekat. Janganlah kita diperbudak gadget dan kehilangan momen kebersamaan bersama keluarga tercinta.







Minggu, 05 Juni 2016

Sayonara Grandma

Malam ini aku bertemu dengan nenek dalam mimpi. Untuk ketiga kalinya. Ya, aku hanya bisa menemuinya dalam mimpi, karena kini ia telah tiada.

15 April 2016 adalah hari paling haru sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Jam 7:30 pagi, tiba tiba mama yang baru saja masuk kantor, menelepon Papa. Mengabarkan kalau nenek meninggal dunia. Padahal nenek tidak sakit apa-apa. Memang beliau mengidap diabetes, tapi gula darahnya relatif normal dan pola makannya terkontrol.


Aku dan Nenek

Aku tak percaya

Nenek, yang kuanggap sebagai ibu kedua, meninggal dunia?

BRAKKKK !!

Dunia seakan runtuh. Oh Tuhan, bagaimana dengan perasaan Mama? Pasti beliau lebih sedih lagi.
Dan akhirnya kenangan akan nenek mulai membanjiri ingatan. Beliau yang memberikunama panggilan "vina", mungkin karena "avizena" susah diucapkan. Beliau juga yangmemberiku anting emas pertama, yang memberikan seekor kambing saat aqiqah Saladin, cicit pertamanya.


Nenek hanya dua kali bertemu Saladin, saat Adin aqiqah dan di akhir tahun 2014 lalu. Alhamdulillah Saladin sempat berfoto dengan mbah buyutnya.



Sekarang saat sedih aku hanya bisa membacakan surat yasin untuknya. Atau mengenang memori manis tentangnya. Meskipun nenek tinggal di Jepara, dan aku tinggal di Malang, namun beliau tak pernah lupa dan selalu mencurahkan perhatiannya.

Tahun 2004 saat aku akan kuliah, tiba tiba ada paket dari Jepara, ternyata Nenek emngirim sebuah pena yang bagus sekali. Tahun 2002, ketika adik bungsuku lahir, Nenek "terbang" dari Jepara ke Malang. Aku masih ingat, saat itu rumah sepi. Mama masih ada di rumah sakit, pasca operasi cesar. Namun Nenek menghangatkan suasana rumah dengan lumpia yang entah beliau beli di mana. Esoknya, ada paket berisi sepuluh buku tulis , bergambar personel F4, untukku dan Dek Doni.

Beberapa kali beliau menginap di rumah kami, dan memilih untuk tidur di kamar lantai 2. Padahal dilantai 1 ada kamar tamu, namun beliau memilih untuk tidur di atas. Karena lebih dekatdengan mushalla rumah.

Pernah sekali beliau bercanda "di sini uangku gak laku". Oh, tenryata karena Mama sibuk membayarkan ini dan itu, untuk keperluan Nenek.

Nenek selaluhadir di saat saat penting dalam hidupku. Ketika aku dilamar, ketika aku menikah, lalu saat Saladin aqiqah. Beliau selalu berpesan "sabar", ketika mengasuh Saladin.Memang Saladin adalah anak istimewa yang selalu berputar putar dan berlari di sekeliling rumah, sehingga menjaga dan mengasuhnya selalu membuat kakiku berasa remuk. 

Nenek, kau akan selalu hidup dalam hatiku. Akan kuingat sosokmu yang mengoleskan lipstik Revlon di bibir indahmu, kelincahanmu dalam mengikuti senam jantung sehat. Aku merindukanmu. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam Surga.

Kamis, 02 Juni 2016

Bangkit dan Bersinar, Setegar Ebony

Apa yang kau rasakan ketika dicerai, padahal sedang hamil muda? Mungkin kau tenggelam dalam kesedihan, mungkin kau berpikir untuk bunuh diri. Tapi Karin mencoba untuk bertahan.

Karin alias Asih Karina adalah penulis buku Setegar Ebony, buku favorit saya tahun ini. Setegar Ebony bukanlah novel, melainkan sebuah autobiografi. Kisah kehancuran rumahtangganya yang berlangsung hanya beberapa bulan. Cuma seumur jagung!


Padahal Karin dan Ardhan (mantan suaminya) telah memadu kasih selama lima tahun, sebelum menikah. Apa yang membuat Ardhan menjadi berpaling? Apakah ia sadar bahwa pernikahan adalah suatu penjara baginya, yang memuja kebebasan? Atau ia menyesal dan berkata "terlanjur", sudah kadung menikah, tapi hati berkata lain?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang ada di hati Karin. Hanya lima bulan setelah menikah, Ardhan mengucapkan talak padanya. Padahal mereka pernah bulan madu ke Bali, dan di sana Ardhan menunjukkan cintanya yang sangat besar. 

Karin terus bertanya, "apa salahku?". Apakah Karin bukan istri yang sepadan untuknya? Apakah Ardhan sudah cukup puas mengambil keperawanannya, lalu menghempaskannya begitu saja? 
Sebenarnya gelagat Ardhan sudah tercium beberapa bulan lalu. Hanya 2 minggu setelah mereka menikah, sorot matanya lain. Ia mulai sering pulang malam, bahkan pergi ke Madura bersama teman-temannya tanpa pamit. 

Karin, yang tinggal bersama mertua dan iparnya, selalu gelisah menanti kepulangan sang suami. Tak jarang ia menunda makan malam, karena ingin menemani Ardhan makan. Tapi ternyata ia sudah makan di luar, bersama rekan kerjanya.

Apakah Karin terlalu posesif dan melarang Ardhan untuk bergaul? Ketika Karin menanyakan, apakah ia akan terus aktif dengan kegiatannya di luar rumah, jawab Ardhan,

"Aku nggak akan berhenti, aku bukan tipe orang yang bisa di rumah terus"

(halaman 35)

Hati istri mana yang tidak hancur ketika mendengar kata kata itu, dari suami yang baru saja menikahinya? Sebagai pengantin baru, wajar saja kalau istri menuntut perhatian lebih,  berduaan saja bersama suaminya. Tapi apa yang membuat sang suami menjadi berubah drastis seperti ini?

Akhirnya Karin mengiyakan ajakan sang ibu untuk pergi ke seorang paranormal. Lalu ada seseorang yang merekomendasikan seorang Kyai muda, yang bisa memecahkan masalahnya. Kyai Yassin namanya. Dengan mobil carteran, Karin menemui kyai itu dan menceritakan masalahnya. Sebotol air doa dan wirid yang harus ia doakan setiap malam adalah bekal dari sang Kyai untuk Karin.

Limpahan doa dan harapan yang Karin ucapkan setiap hari akhirnya membuat Ardhan kembali. Karin sangat bersyukur karena sang suami hadir lagi di pelukannya. Namun keromantisan itu hanya datang dalam beberapa hari. Ardhan seolah tak mau kembali, bahkan tak mau menyempatkan waktu sejenak untuk membalas sms.

Dan puncaknya ketika Ardhan mengucapkan talak di depan Karin. Tapi Karin ingin ia dan keluarganya berpamitan dan mengucapkan perpisahan secara resmi, di depan keluarganya. Datang baik-baik, berpisah dengan baik-baik pula. Ayah Karin tak sanggup menghadiri pertemuan itu, karena turut merasakan sakit hati yang dialami oleh anak bungsunya. Sang ayah memang sudah berpisah dengan ibu Karin, dan tinggal di Jakarta.

Di pertemuan itu, tiba-tiba Ardhan bercerita bahwa ia pernah menikah lima tahun lalu di Bali, dan memiliki seorang anak. Rupanya kemalangan Karin berasal dari teluh dari mantan istri Ardhan, yang tak rela melihat mereka bahagia. Lalu Karin mengucapkan lima sumpah pada Ardhan. Ardhan akan menyesal, karena tak ada lagi wanita yang bisa mencintainya dengan sangat tulus, seperti dirinya. Ia juga akan menjalani hidup yang sangat terjal dan tak pernah bahagia, walau dengan materi berlimpah. 

Setelah acara berakhir, Karin menangis di pelukan ibunya. Dua wanita ini bernasib sama, harus menjadi single parent. Bedanya, sang ibu terpaksa menjanda karena tak terima harus dipoligami, dan harus berjuang membesarkan tiga anak, sendirian. Sedangkan Karin, di usianya yang belum genap 27 tahun, sudah menyandang status janda muda, sedang hamil pula!

Status janda tak membuat Karin dijauhi oleh tetangga. Mereka justru menunjukkan perhatian dan cinta padanya. Pada hari hari tertentu, mereka mengadakan jamuan makan pagi khusus untuk Karin. Walau menunya hanya sayur dan urap, namun ia menikmati kebersamaan ini. Karin yang sedang mengidam juga dihujani perhatian oleh teman teman dan saudaranya. Mereka seolah berebut memberikan makanan yang disukainya.

Namun ketenangan ini hanya berlangsung sekejap. Ardhan tiba tiba datang, bersama ayah mertuanya. Ia memberikan separuh uang ganti rugi yang diminta Karin. Karin memang meminta uang 55 juta rupiah sebagai ganti rugi atas sakit hati yang dideritanya. Sakit itu semakin mencekik saat Ardhan memeluknya dan berkata "aku kangen". Terlebih ketika sang ayah mertua seolah tidak membelanya, dan membiarkan anaknya bertindak semaunya.

Setelah pertemuan mengejutkan itu, Karin menyibukkan diri dengan merenung di kamar mandi. Sang ibu bahkan takut jika putrinya bunuh diri. Ia memang sempat menyinggung hal itu, namuninilah jawaban ibunda:

"Nek Adek bunuh diri, ibu melok mati ae"

(halaman 42)

Jika Karin mati bunuh diri, maka sang ibu akan mati juga. Hidup ibunya dihabiskan hanya untuk menjaga Karin, karena dua kakaknya telah menikah dan pindah rumah. 

Kini Karin sadar, ketika manusia sudah berada dalam tingkat pasrah, maka Tuhan akan menolong dan menunjukkan hikmah di balik petaka. 

"Kekuatan dari Tuhan melalui anakku kini menjadi satu-satunya alasan untukku bertahan meski aku harus menyelami nasib seorang diri seperti layang-layang"

(halaman 9)

Setelah USG, Karin melihat binar mata anaknya, detak jantungnya. Ia adalah harapan baru bagi hidupnya. Ia harus tetap bertahan, demi sang putri tercinta. Dan akhirnya, 26 maret 2013, Ebony Agna Sabria lahir di dunia. Ebony adalah jenis kayu yang sangat kuat, dan Karin ingin jadi kuat, setegar ebony.

Saya menangis tiga kali saat membaca novel ini. Betapa tidak! Sang penulis benar-benar ada dan saya mengenalnya secara pribadi, karena ia adalah adik tingkat saya. Pernah sekali ia menulis status di fb, mencari keberadaan Ardhan. Namun saya tak menyangka bahwa ia harus melewati cobaan yang begitu berliku di usianya yang masih sangat muda. 

Namun Karin berhasil mengubah tragedi menjadi sebuah tragicomedy. Ia menumpahkan perasaannya dan menulis buku Setegar Ebony ini. Baginya, menulis adalah sebuah terapi jiwa. Ia mengajarkan saya bahwa setiap emosi negatif tidak harus menjadi status fb, namun disulap menjadi puisi, cerpen, atau novel. Royalti dan honornya akan menebalkan kantong, kan? 

Karin juga membangunkan pembaca dari mimpi pernikahan impian. Tidak ada yang namanya hidup bahagia selamanya, karena pernikahan adalah sebuah permulaan, bukan akhir. Awal dari hidup baru, dan pasangan pengantin harus siap untuk menghadapi setiap masalah dan badai rumah tangga yang mendera. Laut yang tenang tak akan menghasilkan pelaut tangguh.

Cinta saja tak cukup dalam sebuah hubungan pernikahan. Namun diperlukan juga komitmen, kesetiaan, dan kepercayaan. Saat suami sudah jujur,setia, dan penyayang, itu sudah cukup untuk disebut sebagai suami ideal.

Walaupun ia tak setampan Lee Min Ho, helai rambutnya sudah memutih, dan perut six-packnya sudah membuncit, tapi ia setia menggandeng tangan anda ketika sedang menyeberang jalan. Atau ia mau membantu anda mencuci piring dan menyiapkan sarapan, padahal masih kelelahan pasca lembur. Bukankah itu adalah hadiah yang besar, melebihi kebahagiaan ketika ia memberi anda cincin emas bertahtakan berlian? Tak ada sosok suami sempurna, karena hanya Tuhan yang sempurna.

Karin juga pernah merasa hidupnya sempurna, karena mampu membantu suaminya mencari nafkah, dengan bekerja sebagai content writer. Namun pekerjaan penulis yang mengurung diri di kamar, agaknya perlu lebih disosialisasikan kepada keluarga, tetangga, dan orang lain. Mungkin mertua Karin heran, mengapa menantunya asyik sendiri di kamar, padahal ia sedang bekerja. 

Melalui Setegar Ebony, Karin juga selalu mengingatkan saya untuk bersyukur. Alhamdulillah, saya punya anak laki-laki yang sehat. Ketika ayah saya marah, saya bersyukur karena memiliki ayah. Ketika suami cemberut, saya bersyukur karena memiliki keluarga yang utuh. 

Rasa syukur ini yang seharusnya saya nikmati. Percetakan yang saya dirikan bersama suami memang limbung dan terpaksa harus ditutup, karena tertipu rekan bisnis. Tak tanggung tanggung, kerugiannya senilai limabelas juta rupiah. 

Kesehatan finansial keluarga merosot drastis, dan kami memulai hidup dari nol lagi. Setelah membaca buku ini, saya bersyukur karena memang Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kekuatan hamba-Nya. Alhamdulillah bukan saya yang menipu. Alhamdulillah Allah segera memperingatkan saya tentang dahsyatnya dosa riba, karena uang itu memang hasil pinjaman dari Bank. 

Tak usah menggerutu ketika ada masalah, karena masalah adalah salah satu cara Allah untuk memanggil hamba-Nya. Saat ada masalah, baru saya sadar bahwa selama ini ibadah sunnah saya kurang dijaga, membaca qur'an pun sesempatnya. Kini saya tobat dan berusaha beribadah dengan lebih tekun.

Sesungguhnya manusia harus bersabar, karena di balik kesulitan, ada kemudahan. Seperti tercantum dalam surat Al Insyirah ayat 5 dan 6.

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"

Saya harap semoga Karin dan Agna selalu bahagia. Terimakasih telah menulis buku Setegar Ebony, semoga seluruh pembaca bisa mendapatkan hikmah setelah membacanya.














Sabtu, 28 Mei 2016

Lakukan 10 Hal ini Sebelum Anda Berhutang


Siapa yang tak punya hutang? Sepintas, berhutang memang nikmat, tiba tiba kita dapat uang, tanpa harus banting tulang siang-malam. Tapi tunggu dulu! Berhutang bikin langkah kita dimulai dari minus, bukan nol. Karena kita wajib melunasi hutang, agar kestabilan finansial tetap terjaga. Sebelum berhutang, lakukan 10 hal di bawah ini.

1.Pastikan gaji atau pendapatan anda melebihi angsuran bulanan

Misalnya, anda diberi gaji 1.000.000, sedangkan beban angsuran ke Bank adalah 1.200.000. Minus 200.000, cari uang dari mana? Berhutang lagi? Ini sama seperti lagu gali lubang tutup lubang, meminjam uang untuk melunasi hutang. Tak ada habisnya, seperti lingkar labirin. Anda akan merasakan efek domino, hutang beruntun akan mengkikis habis persediaan uang, properti, dan harga diri anda.

2. Pinjaman uang digunakan untuk kegiatan produktif, bukan konsumtif.

Setelah ada pencairan hutang dari Bank, langsung bagi uang itu di dalam amplop, dan rencanakan langkah produktif selanjutnya. Misalnya, anda ingin membuka gerai es teler, gunakan uang kredit untuk beli gerobak, kelapa muda, dan lain-lain. Kalau ada sisanya, bisa ditabung untuk simpanan tak terduga.

Jika uang itu untuk beli barang konsumtif misalnya handphone android terbaru, maka langkah bisnis anda bisa terbaca, bakal tamat riwayatnya. Tapi kan bisa promosi lewat sosial media, jadi butuh handphone sebagai modal? Ya, jika anda sudah punya handphone berkamera, tak usahlah beli yang baru demi memenuhi tuntutan gaya hidup. Prioritaskan kebutuhan untuk berdagang, bukan sekedar gengsi.

3. Setelah gajian, tekadkan untuk langsung membayar angsuran

Setelah menerima gaji, ambil uang senilai hutang anda, dan bayarkan saat itu juga. Jika anda nekat berbelanja dulu, dan membayar hutang di pertengahan bulan, takutnya uang gaji ini tidak cukup untuk bertahan sampai akhir bulan. Hutang memang wajib dibayar, jadi jangan tunda pelunasannya.

4. Hitung bunga hutang dengan teliti

Misalnya anda meminjam 30.000.000 ke Bank, dan bunganya 9%. Ternyata setelah anda membaca surat perjanjian dengan Bank, bunganya adalah 9% per tahun, bukan 9% dari nilai hutang. Jadi hitung uang angsuran dan bunga yang harus anda kembalikan, secara cermat.


5 . Pastikan orang yang meminjamkan agunan sudah ikhlas

Kadang kita berhutang dengan agunan milik orangtua, atau mertua. Bermodal BPKB atau surat tanah milik mereka, anda bisa mendapatkan pinjaman uang untuk modal usaha. Tapi jika cara mendapatkan agunan itu dengan setengah memaksa atau merengek, apa membuat bisnis anda berkah? Doa negatif akan membuat bisnis tersendat sendat. Jadi, mereka harus benar benar ikhlas meminjamkan agunannya.

6. Cermati pilihan kredit yang ditawarkan oleh Bank, karena bunganya berbeda

Rata-rata, kredit untuk UKM bunganya hanya 3%, tapi uang yang bisa dipinjam maksimal hanya 20.000.000. Jika anda meminjam 30.000.000 atau 50.000.000, bunganya 9%. Jika anda hanya butuh modal sebesar 18.000.000, maka jangan memaksa untuk pinjam 25.000.000, karena bunganya akan menjadi 9%, bukan 3%. Berhutanglah sesuai kebutuhan.

7. Pikirkan lagi, apakah anda benar benar butuh hutang untuk modal usaha?

Misalnya, anda ingin berjualan kaos anak, harga per lusinnya adalah 360.000 rupiah. Janganlah berhutang
3.000.000 rupiah untuk modal. Beli satu lusin saja dulu, jika terjual habis, keuntungannya bisa diputar untuk modal selanjutnya.

Anda juga bisa mengurangi ketergantungan hutang untuk modal usaha, dengan mengadakan garage sale. Jual saja tas atau baju lama yang tergantung di lemari. Dengan catatan, barang barang itu harus layak pakai. Keuntungan penjualan bisa anda gunakan untuk belanja barang dagangan.

8. Buat surat perjanjian kepada penumpang hutang

Kadang saudara atau teman ingin menumpang atau nebeng, ikut meminjam uang saat anda akan mengajukan kredit ke Bank. Misalnya,anda pinjam 10.000.000, maka dia ikut pinjam 2.000.000, jadi totalnya 12.000.000. Beri selembar surat perjanjian beserta kuitansi, saat ia menerima uangnya.

Hitung juga bunga yang harus ia lunasi, dan durasi peminjamannya. Sama saudara kok perhitungan? Jangan lupa, uang dan hutang kadang tak mengenal hubungan darah. Justru anda memperlakukannya secara profesional.

9. Saat akan mengajukan kartu kredit, gunakan dengan bijaksana

Banyak orang punya kartu kredit karena tergiur akan diskon merchant, dan cicilan dengan bunga 0%. Tapi penggunaannya juga harus dikendalikan. Boleh tarik tunai, untuk modal usaha. Boleh belanja, asal barangnya dijual lagi, atau disewakan. Keuntungannya harus di atas bunga kartu kredit. Ingat, kartu kredit adalah kartu hutang! Bukan kartu ATM.

10. Beri target kapan harus melunasi hutang

Misalnya anda mengkredit sepeda motor, dan diangsur 36 kali. Targetkan untuk melunasinya pada cicilan ke-30. Mengapa harus ditarget? Karena sepeda motor yang gagal kredit, akan ditarik kembali oleh leasing, rugi bandar!

Lalu bagaimana cara melunasinya? Banyak jalan menuju roma, banyak cara mencari uang. Anda bisa menjadi makelar sepeda motor atau tanah, atau mencari job freelance yang banyak bertebaran di internet. Bisa juga dengan menjadi guru privat bahasa asing.

Boleh-boleh saja berhutang, asal tujuannya positif. Hutang produktif akan mensejahterakan kesehatan finansial anda. Tapi jangan sampai hutang dan tunggakan kredit, menyengsarakan hidup anda. Selamat mengatur rencana keuangan dan hitungan hutang, dengan sebaik-baiknya.

ini adalah kontes menulis cekaja.






Kamis, 26 Mei 2016

Karena Beras, Hubungan jadi Panas

"Kalau kamu bawa beras lagi, nanti aku berikan ke ayam peliharaanku!"

Dar! Kalimat itu bagai petir di siang bolong. Terlebih, diucapkan oleh ibu mertuaku. Padahal saya bermaksud meringankan bebannya.  Karena beliau adalah ibu yang melahirkan dan membesarkan suamiku.

Saya telah lima tahun menjadi menantunya. Sebenarnya, hubungan kami cukup baik. Saya menganggapnya sebagai ibu kandung, dan beliau tak segan untuk mengajari saya memasak sayur pepaya muda.

Dulu, sosok ibu mertua yang jahat seperti tergambar di sinetron, sama sekali tak tampak di raut wajahnya.  Malah saya mengagumi semangat kerjanya yang meluap luap. Walau matanya hanya berfungsi satu, karena mata kiri sudah terenggut fungsinya oleh katarak, namun beliau tak pernah mengeluh. Di usianya yang sudah 65 tahun, beliau menjadi kernet kereta kelinci. Sedangkan bapak mertua menjadi supirnya. Setiap sore, kereta kelinci mengelilingi kampung Lokgempol, di kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Sekali seminggu, saya dan suami mengunjungi rumah ibu mertua. Setiap kali melihat beliau, saya teringat nenek saya, dan merasa kasihan padanya. Lalu hati ini tergerak untuk memberi beliau uang 50.000. Tapi maksud baik ini malah ditanggap dengan kata kata sepedas cabai. "Gak usah. Simpan saja uangmu untuk biaya periksa". Ya, saat itu memang saya sedang hamil muda.

Pasca melahirkan, saya berusah menyisihkan uang lagi, khusus untuk beliau. Walau uang ini mungkin tidak cukup untuk mengganti biaya membesarkan dan merawat anaknya, suami saya. Namun lagi lagi beliau menolak. "Jangan kasih ibu duit terus. Uang itu bisa untuk membeli susu anakmu. Ibuk bisa cari uang sendiri!".

Ya, mungkin kalau makanan beliau mau menerima. Minggu berikutnya, saya membawa sepanci kare daging sapi. Namun apa yang terjadi? Ternyata ibu mertua berpantang santan. Bukan atas anjuran dokter sih, namun beliau mulai mengatur makanan yang masuk ke perutnya, sejak berusia 45. Semacam diet rendah lemak, untuk menjaga kesehatan.

Sementara itu, suami membawa kabar buruk. Ibu mertua jarang bekerja, karena kondisi kesehatan bapak mertua yang menurun. Tak ada anaknya yang bisa menyetir kereta kelinci. Well, hanya sopir yang berpengalaman mengendalikan truk gandeng yang bisa menaklukkan setir kereta kelinci. Duh, jika ibu tidak bekerja, bagaimana dengan kondisi dapur beliau, akankah masih akan mengepul?

Lalu saya inisiatif membeli beras dan meminta tolong suami untuk memberikannya pada ibu. Ternyata beliau juga menolak maksud baik saya (seperti yang sudah saya ceritakan di awal). Ternyata, ibu takut jika saya mengambil beras milik Mama, di dapur. Ya, saya memang masih menumpang di rumah Mama. Namun beliau tak tahu bahwa beras itu saya beli sendiri.

Akhirnya saya hampir menyerah, dan menitipkan uang 50.000 pada suami. Terserah bagaimana caranya, yang penting ibu mau menerima uang itu. Tiba tiba suami mendapat ide, uang itu ia belanjakan, lalu diberikan ke ibu. Seolah olah ia membelinya tanpa sepengetahuan saya. Lalu suami membeli 2 kg beras, 1 kg telur ayam, dan 3 buah tempe. akankah pemberian itu akan ditolak lagi? Entahlah, kita tunggu kabar dari suami saya ya.

Di dalam hati, saya menerka, akankah beliau tersinggung dengan tindakan saya? Ah, tidak. Mungkin beliau lebih mengutamakan cucunya, anak kandung saya. Bisa saja beliau ingin bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, dan tak ingin membuat anak anak dan menantunya merasa direpotkan. Semoga kesalahfahaman ini bisa mencair, dan hubungan kami bisa lebih harmonis, seperti dulu kala.

Teman teman, jika ingin berbuat baik, lakukan saja. Jika ada yang mencibir atau menolak, maka bersabarlah. Mungkin cara penyampaiannya yang perlu diperbaiki.






Selasa, 29 Maret 2016

Jika Saya Mati, Sebentar Lagi



Jodoh yang paling pasti adalah kematian. Semua orang entah esok atau kapan saja akan meninggalkan dunia yang isinya siang dan malam.

(Sinta Ridwan - Berteman Dengan Kematian)

Pelan-pelan saya resapi kalimat yang teruntai di dalam buku. Kematian? Seringkali manusia lupa bahwa kehidupan dan kematian sudah ditakdirkan oleh-Nya, di lauful mahfudz. Tapi, apa yang akan saya lakukan ketika akan meninggal dunia, 8 hari lagi?

Tentu saja saya akan memerah asi. Saladin, anak tunggal saya, masih menyusu. Minimal ia bisa menyesap asi, walau stok yang ada mungkin hanya cukup untuk satu bulan.  Asi perah itu akan menghangatkan lambungnya. Mencurahkan kasih sayang, walau ibunya telah tiada.

Saya tak mau ia sedih walau tak ada yang menemaninya siang dan malam. Jadi akan ada kado-kado khusus untuknya, walau ia belum mengerti. Bulan depan, ia akan mendapat bantal bergambar masha and the bear. Tiga  bulan kemudian, selimut bergambar paw patrol akan menghangatkannya saat malam. Fyi, mereka adalah tokoh kartun kesukaan Saladin. November, saat ia berulang tahun, saya hadiahkan gelas plastik. Agar ia bisa minum sendiri.



Sementara di ulang tahun berikutnya, akan ada saputangan sebagai kado. Saat ia mulai tumbuh besar, sapu tangan itu akan menghapus airmata kerinduannya. Sepatu keds menjadi hadiah di tahun selanjutnya, jadi Saladin bisa berpetualang ke mana saja.

Saat ia berulang tahun ketujuh, saya memberikannya buku doa. Agar ia bisa membaca doa untuk almarhumah ibunya. Tahun berikutnya, ia bisa belajar arah mata angin dengan petunjuk dari kompas. Sebagai calon petualang cilik, ini gadget yang ia butuhkan. Di ulang tahunnya yang kesembilan, akan ada sarung sebagai hadiah. Agar ia belajar solat dengan khusyuk.

Sementara tahun berikutnya, satu set buku gambar dan krayon bisa menjadi pelampiasan emosinya. Dompet menjadi kado ulang tahunnya yang kesebelas, jadi Saladin bisa mengatur uang sakunya sendiri. Di ulang tahunnya yang keduabelas, ia bisa menenggak air putih dari botol air minum yang saya hadiahkan.

Saat ia sudah tiga belas tahun, sudah hampir aqil balig. Tasbih bisa menjadi temannya dalam perjalanan, agar ia bisa zikir setiap saat. Itu hadiah terakhir untuknya, sampai ia jelang dewasa. Nanti ayahnya akan membungkuskan barang-barang itu dan memberikannya sesuai dengan petunjuk dari saya.

Mikirnya udah jauh banget ya? Padahal waktu saya untuk tinggal di bumi tinggal sebentar. Mumpung masih ada 8 hari, saya ingin mendekatkan diri padaNya. Meningkatkan kualitas ibadah dan juga berdoa. Semoga nanti keluarga yang ditinggal akan sabar dan legawa.

Setelah salat taubat, segera menghampiri mama dan papa. Meminta maaf, karena belum bisa jadi putri yang membanggakan. Lalu segera menghadiahkan: susu kalsium untuk mama, dan setelan olahraga plus tape recorder baru untuk papa. Semoga kado kecil ini akan membuat mereka senang.

Selain orangtua, harta saya yang paling berharga adalah suami tercinta. Sejuta kata maaf terucap, mungkin ada kesalahan (yang menurut saya kecil), tapi menyakiti hatinya. Bukankah kemarahan suami adalah kemarahanNya juga? Semoga dengan maaf dan ridhonya, kelak saya bisa masuk surga.

Juga akan ada kejutan kecil untuk sang belahan hati: tiga puluh lembar surat cinta. Berisi puisi, ungkapan sayang, dan terimakasih. Karena ia telah setia mendampingi saya, hingga ajal menjelang.
Tapi ia hanya boleh membuka satu surat saja, setiap harinya. Semoga setelah membaca surat itu, ia bisa terhibur. Walau saya tak lagi ada di sisinya.

Pada salah satu surat itu, juga ada surat wasiat. Mungkin harta saya belum sebanyak Donald Trump, tapi isi dompet dan rekening wajib disedekahkan. Begitu juga dengan baju-baju, sepatu, kerudung, diberikan saja kepada fakir miskin.

Buat apa barang-barang itu, jika saya tiada? Jika suami melihatnya, ia akan terkenang, lalu berurai air mata. Jadi lebih baik untuk orang lain saja.

Kenangan manis bersama teman kuliah masih terpatri di hati. Tapi kami jarang bertemu, karena sibuk dengan pekerjaan atau urusan keluarga. Jadi setidaknya saya bisa mengunjungi rumah mereka. Membawakan brownies dan pizza buatan sendiri, bercakap-cakap dan bercanda. Mengenang masa kuliah, lalu meminta maaf. Semoga mereka mau memaafkan kesalahan dan ikhlas jika nanti saya pergi untuk selamanya.

Setelah bertemu dengan mereka, saya akan izin cuti sebentar dari kewajiban menjadi ibu rumah tangga. Menikmati kegiatan yang sudah lama tidak dilakukan: senam dan angkat beban  di fitness center, lalu sauna. Setelah itu, mandi, berganti pakaian, lalu naik angkutan kota. Menikmati kemacetan di jalan. Menuju mall yang letaknya jauh dari fitness center.

Saya tak ingin berbelanja, hanya kangen makan soto betawi di foodcourt mall. Sambil mengamati orang yang lalau lalang. Duduk sendiri, merenung, ternyata manusia lahir sendiri, mati juga sendiri. Ya, saya ingin menikmati kesendirian ini. Bertanya pada suara hati, apakah sudah siap untuk pergi?

Jika nanti saya pergi, tak ada yang disesali. Karena sebelum meninggal dunia, saya ingin mewujudkan obsesi lama: belajar merias wajah. Kebetulan ada teman perias yang mengajar privat juga.

Walau mungkin hanya sekali, setidaknya saya bisa merias muka sendiri. Lalu beranjak pulang dan memberi kejutan kepada sang suami. Berharap ia bahagia karena melihat istrinya tampil istimewa, hanya untuknya.

Bahagia? Ya, walaupun nanti suami, anak, dan orangtua sedih, tapi hati saya terasa bahagia. Karena akan bertemu dengan sang Maha Pencipta. Meninggalkan dunia dengan damai. Mengakhiri hidup dengan senyuman.

Kata orang jaman dulu, hidup hanya mampir ngombe (mampir minum). Hanya sekejap. Sebelum malaikat maut menjemput, saat nyawa masih di kerongkongan, saya berbisik: terimakasih. Walau hanya sebentar, tapi saya diberi kehidupan yang penuh cinta.

Tulisan ini diikutkan dalam dnamora Giveaway




Sabtu, 19 Maret 2016

Bertukar Ibu

BRAAK! Richa menaruh kotak bekalnya keras-keras. Sinta yang sedang minum teh botol hampir tersedak.

"Lagi sariawan ya? Kok manyun? Kaget aku, sampai hampir tersedak", goda Sinta. Richa malah memajukan bibirnya empat sentimeter. Beberapa orang di kantin sekolah menertawainya.

"Lihat nih! Sandwich lagi, dan lagi!", kata Richa. Ia membuka kotak bekalnya. Ada roti berbentuk segitiga, berisi dadar, tomat, dan mentimun. Sinta menelan ludah.

"Kalau gak mau, buat aku aja! Hari ini ibu lupa tidak membuatkanku bekal. Jadi harus beli di kantin", ujar Sinta.

Lebih baik beli makanan di kantin, daripada makan roti tiap hari. Gumam Richa dalam hati.  Lalu..

"Gimana kalau kita bertukar ibu? Nanti kamu masuk rumahku, aku tinggal di rumahmu". Apa??

Richa berpikir sebentar."Oke, mulai hari ini ya!".

KRIING! Tiba-tiba bel berbunyi. Murid-murid di SD Cempaka Kuning bergegas masuk kelas. Di kelas, Richa tak bisa menyimak ajaran Bu Mamiek. Pikirannya melayang. Bertukar ibu, bertukar rumah?

Tak terasa sudah jam 1 siang. Saatnya pulang. Richa dan Sinta naik angkot yang sama. Mereka tinggal di kompleks Cahaya Hati.

"Ciit!", angkot berhenti di depan perumahan. Richa tersentak dari lamunan. Segera ia memberikan uang pada supir. Dan mengejar Sinta yang turun duluan. "Sintaa, tunggu!".

Richa bergegas menyusul Sinta. Sinta belok kanan, menuju rumah Richa.
"Kamu lupa ya? Rumahku di blok C, belok kiri!".

Kaki Richa melangkah pelan. Nomor 2, itu rumah Sinta. Bercat warna ungu, berpagar hitam.  Tingtong! Richa membunyikan bel.

Lima menit kemudian, pintu baru dibukakan. "Richa? Sinta kan belum datang. Lho biasanya dia pulang bareng kamu kan?". Tante Padmi, mama Sinta, heran.

Richa menjelaskan, "Tante, mulai hari ini saya jadi anakmu. Sinta pulang ke rumah saya. Kami bertukar ibu".


Tante Padmi menggaruk rambut. Lalu membetulkan letak kacamatanya. "Baiklah, mari masuk!".

Richa melangkah ke ruang tamu, lalu melepas sepatunya. "Maaf ya, Tante tadi masih kerja. Jadi telat bukain pintu". Richa mengangguk pelan. Ya, beliau bekerja sebagai penerjemah. Sepertinya banyak sekali artikel yang harus diterjemahkan.

Krieet..Tante Padmi membuka pintu kamar Sinta. "Setelah ganti baju, makan siang ya. Cari sendiri di meja makan. Maaf Tante harus kerja lagi"

"Terimakasih", kata Richa perlahan. Lalu ia melongok ke dalam lemari baju. Ups, Richa lupa. Sinta sangat suka warna pink. Jadi hampir semua kaosnya bergambar hello kitty atau barbie, berwarna merah muda. Sedangkan ia benci warna itu. Aah, untung ada satu kaos berwarna putih.

Setelah ganti baju dan cuci tangan, Richa membuka tudung saji. Ada dua bungkusan berwarna cokelat. Setelah dibuka, isinya nasi, ayam suwir, dan tumis buncis.

Richa berdoa lalu duduk. Ia memakan nasi bungkusnya. Pyaar! Huh, hah! Pedaas! Ternyata ada potongan cabe di dalam tumis buncis. Gluk gluk! Richa minum air banyak banyak.

Ibu tahu Richa tak suka pedas. Jadi tumis kangkung buatannya tak diberi cabe. Sebenarnya Richa ingin membuang nasi ini. Tapi demi menghormati Tante Padmi, ia menghabiskannya.

Sorenya Richa membaca buku sejarah. Besok ulangan. Rumah Sinta lengang, Tante Padmi masih bekerja di kamarnya.

Biasanya Richa menanyakan jawaban di LKS sejarah pada ayahnya. Tapi ayah Sinta tak ada. Ia bekerja di perusahaan minyak, di lepas pantai. Pulangnya hanya tiga kali dalam setahun.

Tak terasa sudah jam 9 malam. Tante Padmi masuk kamarnya. Tersenyum dan mengucapkan selamat tidur. Richa melipat selimutnya. Ia gelisah, tak bisa tidur. Membayangkan, apa yang dilakukan Sinta di rumahnya?

Kriing! Weker berbunyi. Astaga, sudah jam 6 pagi! Richa bergegas mandi dan berganti baju. Tante Padmi duduk di ruang tamu. Matanya setengah terpejam.

"Richa sayang, maaf semalam Tante lembur. Tak sempat masak bekal, apalagi sarapan. Beli di kantin saja ya!", kata beliau. Sambil menyodorkan uang dua puluh ribu.

Tiba tiba Richa ingin makan sandwich. Ia merindukan ibunya...

Tulisan ini diikutsertakan dalam #FirstGiveAwayCeritaAnak















Selasa, 15 Maret 2016

Tiga Dekade Penuh Rasa



"Tulisanmu tidak logis!" . Ucapan Bu Yayuk bergema di kelas lima, diiringi derai tawa. Oleh teman sekelas, yang menganggap tulisanku konyol. Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Kami disuruh menulis satu paragraf. Seingat saya, tulisannya berisi, "Tino pergi ke rumah Rina. Tino naik sepeda. Sambil bernyanyi dan bersiul-siul". Awalnya, saya kira tulisan ini brilian. Ternyata malah ditertawakan.

Itulah secuil tragedi di masa kecil saya. Perkenalkan, saya Avizena Elfazia Zen, lahir 19 desember 1986. Nama saya agak aneh, karena untuk laki-laki (Ibnu Sina).  Tapi, what is a name? Saya suka karena unik, tidak ada anak gadis di Jepara yang bernama sama.


Ya, saya numpang lahir di Jepara, lalu pindah ke Malang. Karena Mama mengajar di sebuah Universitas Negeri di kota apel ini. Lalu lahirlah tiga adik laki-laki, Oca, dan Foresta, dan Doni.

Masa kecil saya tidak bagus-bagus amat. Saya tumbuh menjadi anak minder. Karena di SD sering diejek dan dibully, hanya gara-gara tidak bisa bahasa jawa. Di rumah bahasa ibu pakai bahasa indonesia. Jadi, ketika ngomong bahasa jawa, terdengar janggal dan ditertawakan. Mereka jauh lebih tua, karena saya masuk SD di usia 5,5 tahun. Badan kurus kecil ini juga jadi bahan guyonan.

Karena tak mau bergaul dengan mereka, akhirnya saya sering mengurung diri, sepulang sekolah. Menulis buku harian. Hitung-hitung latihan menulis, kan calon wartawan. Saat itu saya ingin jadi wartawan seperti Papa. Keren sekali, liputan, menulis, lalu dimuat di koran. Tapi apa ada wartawan yang tidak percaya diri?

Rasa minder ini membuat saya tak punya prestasi apa-apa. Tapi semua berubah saat kelas lima. Seorang kepala sekolah bernama Bu Djum berkenan mengajar bahasa inggris. Wow, ternyata saya berbakat di bidang  bahasa.

Nilai ujian bahasa inggris selalu dapat 9 dong. Saat sekolah di SMPN 5 maupun di SMUN 8 Malang, bahasa inggris dan conversation selalu jadi kesukaan saya.

Namun minder saya hampir kambuh saat SMU. SMUN 8 Malang terkenal sebagai sekolah artis, karena ada banyak alumninya yang menjadi model lokal, maupun artis nasional. Di angkatan saya, yang go national adalah Andika Pratama dan Mey Chan. Murid yang bukan artis pun ikut ikutan bergaya hedonis, pakai sepatu impor, ke sekolah nyetir mobil sendiri, dll.

Sedangkan saya berangkat sekolah naik angkot, dan pakai seragam kedodoran. I was an ugly duckling. Tapi pertemuan dengan Bravo crew mengubah hidup 180 derajat. Saya direkrut di ekstra kulikuler itu, menjadi wartawan sekolah. Saat diklat, kami ditempa agar jadi orang dewasa yang pemberani dan percaya diri.

Gebrakan pertama Bravo adalah menerbitkan majalah sekolah yang vakum selama bertahun-tahun. Setelah mengantongi izin dari kepala sekolah (yang baru), kami beruntung. Karena SMUN 8 Malang dijadikan venue acara konser musik yang disponsori oleh sebuah produk sampo. Jadi kami bisa mewawancarai Jun Fan Gung Foo dan Dewi Sandra.


                                    Geng Bravo saat diwawancara oleh sebuah majalah remaja

Apakah hasil wawancara itu membuat majalah Bravo laku keras? Ternyata..Di luar ekspetasi, tak semua laku terjual. Bahkan kami harus berhutang ke percetakan.

Tapi hal itu tak membuat saya kapok menulis. Semangat literasi saya semakin menggebu saat kuliah di jurusan bahasa inggris di sebuah PTN di Malang. Saat kuliah berasa di "surga", karena bisa belajar writing, poetry, drama, lalu pentas. Asyik kan!

Saat itulah saya pertama kali kerja sambilan, jadi guru privat bahasa inggris. Sesekali menerima job menerjemahkan artikel. Seorang teman juga mengajak saya berjualan kaos secondhand.

 Walau banyak kegiatan di luar,  tapi saya menikmati "me time" dengan  menulis di rumah. Tahun 2008 saya berkenalan dengan blog (multiply), lalu kecanduan menulis di sana. Beberapa kali artikel saya juga dimuat di media massa, walau tak semua memberi honor. Minimal saya menunjukkan bahwa perkataan Bu Yayuk 10 tahun itu salah. Ternyata saya bisa menulis

Pengalaman "memegang uang" justru saya dapatkan setelah menikah. Bukan gaji suami lho, tapi keuntungan bisnis. Ya, sejak akhir 2011 saya dan suami mendirikan sebuah percetakan. Dengan bermodal bismillah dan uang 600.000 rupiah (dari amplop-an para tamu di pesta pernikahan), kami membeli sebuah mesin cetak mini.

Suami menjadi desainer sekaligus kepala bagian produksi. Sedangkan saya menjadi marketing online. Pengalaman memasarkan kaos dan jaket saat kuliah ternyata sangat membantu kelancaran bisnis ini.

Bisnis yang awalnya lancar ternyata harus tersendat di tahun 2014. Seorang partner dengan tega melarikan mesin cetak, padahal kami sudah menyewanya dengan akad 15 juta rupiah. Setelah mencoba bertahan selama hampir dua tahun, percetakan ini harus ditutup, dengan berat hati.

Lembar hitam harus dihapus, berganti dengan awal yang baru. Setelah hampir 40 hari berkabung karena melepaskan bisnis yang dibesarkan dengan keringat, darah, dan air mata, akhirnya saya berdagang lagi. Beruntung seorang tetangga mempercayai saya, beberapa dompet dan tas kulit boleh dibawa dulu, jika laku baru dibayar. Pemasaran via online pun digencarkan, dan saya mendalami copy writing dan covert selling. Hey, ternyata itu menulis juga kan, membuat kalimat iklan yang menarik dan merayu para calon customer.

Blog (yang jarang diisi) ini juga mulai dirapikan dan ditulisi lagi. Anyway, cita cita menjadi wartawan boleh kandas (karena tidak bisa mengendarai sepeda motor).  Namun saya  masih bisa menulis di blog, di iklan, di mana saja.

Kejadian pahit dan manis datang silih berganti, bittersweet. Semua bisa jadi inspirasi tulisan dan sweet memory.

Setelah ngeblog di sini, jadi tahu Mbak Ika melalui seorang teman, salam kenal ya. Banyak sekali komunitas yang diikuti. Walau baru setahun ngeblog, tapi tulisannya udah banyak banget. Happy anniversary! Makasih atas GA-nya, jadi bersyukur atas anugerah selama hampir 30 tahun saya hidup.

Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway