Minggu, 17 Juli 2016

Penghargaan Hanyalah Bonus

Terik matahari mulai membakar, kerumunan orang menyemut di pinggir lapangan. Aku menajamkan telinga, lalu speaker bergema, “ juara 3 adalah peserta nomor 9, juara 2, peserta nomor 18 ”. Dua wanita sintal segera naik panggung. Aku bergumam, apakah akan gagal lagi di lomba senam kali ini? Tiba tiba juri mengumandangkan pengumuman lagi, “ juara 1 adalah..peserta nomor 27! ”. Hah? Aku melihat nomor peserta yang tersemat di baju, setengah tak percaya. Lalu berlari senang, meloncat ke atas panggung.

Akhirnya aku meraih juara 1 di lomba senam yang diselenggarakan di lapangan Rampal. Mbak Farida, salah seorang juri, menyerahkan hadiah. Sebuah amplop putih yang bertuliskan sponsor lomba, salah satu koran lokal Jawa Timur. Kuintip amplop itu, syukurlah, isinya seratus ribu. Tak percuma aku berpeluh keringat, berlaga selama hampir 90 menit.

Kemenangan ini datang setelah tiga kali menelan pil pahit bernama kekalahan. Kuharap penghargaan ini membuat Mama bangga. Sampai di rumah, kuperlihatkan hadiah lomba pada beliau. Tapi apa yang terjadi? Mama hanya mengucapkan “ selamat ”, lalu meraih koran yang tergeletak di sofa. Lalu beliau menatapku tanpa ekspresi.

Aku sudah berada di puncak gunung kesuksesan, tapi reaksi Mama membuatku tergelinding ke dalam jurang. Prestasi yang kuraih setelah berpeluh keringat di fitness center, meregangkan badan, terengah-engah mengikuti gerakan high impact, menghafal koreo, tak berarti apa-apa baginya.

Di kamar, tangisku hampir pecah. Kuremas-remas amplop hadiah, lalu “pluk!”, terlempar ke tempat sampah. Apa yang harus kulakukan agar Mama bangga padaku? Bahkan dulu beliau berpesan untuk mengurangi frekuensi latihanku. Katanya, anak perempuan tak boleh sering-sering keluar rumah. Mungkin beliau akan setuju aku sering keluar rumah untuk belanja, ketika punya voucher belanja Sodexo.

Saat itu aku menyambangi fitness center enam kali dalam seminggu, karena ingin sekali menang lomba. Hampir semua pusat kebugaran di Kota Malang kudatangi, untuk mendapat koreografi baru, dengan instruktur senam yang berbeda-beda. Waktu luangku kuisi dengan berolahraga, karena kala itu aku baru saja lulus kuliah dan belum mendapat pekerjaan. Daripada bengong di rumah, lebih baik berlatih fisik di gym, lalu berjalan-jalan ke Merchant Sodexo.

Tapi Mama tak melihatnya sebagai aktivitas positif. Beliau ingin aku bekerja kantoran, secepatnya. Sudah belasan surat lamaran yang kulayangkan, tapi belum ada panggilan. Pekerjaan sampinganku sebagai penerjemah lepas tak dianggap sebagai karir yang membanggakan. 

Bangga? Apa yang selama ini aku kejar? Apakah aku ingin meraih berbagai penghargaan agar Mama bangga pada anak perempuan satu-satunya? Kupejamkan mata, lalu merenung.

Malamnya aku menghela nafas, lalu Tuhan sang pemilik hati membawaku ke satu titik, ternyata penghargaan tak berarti apa-apa. Hati ini sudah ikhlas jika Mama tidak menghargai kemenanganku. Yang penting, aku sudah mengumpulkan tekad untuk mengikuti lomba, dan berlatih keras demi meraih gelar juara.  Penghargaan hanyalah simbol kesuksesan. Di balik itu, aku belajar. Lebih penting untuk menghargai proses untuk mendapat penghargaan, daripada hasilnya.

Penghargaan hanyalah bonus semata. Ada banyak keuntungan lain ketika aku masih dalam proses untuk meraih penghargaan.  Selama latihan, aku belajar disiplin waktu, harus datang jam 7:30 pagi di fitness center. Lihatlah siluet tubuhku yang terpancar di cermin! Hasil latihan membuat berat badanku stabil di angka 55. Meski perutku belum six-pack, tapi  kerampingan ini membuatku tak pusing mencari ukuran baju yang pas. Makan sebanyak apapun, tak masalah, karena esoknya aku akan membakar kalori di gym. Kakiku yang kulatih di alat bench press, tak rewel jika kubawa berjalan sejauh 2 kilometer.

Aku bersyukur di setiap hela nafas, pada tetes keringat yang mengucur di dahi pasca olahraga. Senyum akan selalu terkembang, latihan ini sudah membuatku lebih bugar, dan menikmati anugerah kesehatan yang diberikan oleh Tuhan. Semangatku untuk tetap mengikuti lomba, berkali-kali, membuatku belajar untuk pantang menyerah. Semua ini jauh lebih bermakna daripada sebuah kata bernama “penghargaan”.

Penghargaan tak berarti apa-apa ketika manusia menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Mereka bisa menyogok dewan juri atau saling jegal. Lebih baik kalah terhormat, daripada mendapatkan penghargaan dengan cara curang.



8 komentar:

  1. Iya mbak setuju, penghargaan adalah bonus. Prosesnya itu yg bikin puas hati, kalau kita menyadarinya.
    Btw wa rajin lari ya dulu, aku paling males hihihi

    BalasHapus
  2. Lomba senam nya rame rame gitu mba, tapi di nilai individu ya.. Btw good luck lomba nya

    BalasHapus
  3. Suka dengan kalimat terakhirnya: Lebih baik kalah terhormat, daripada mendapatkan penghargaan dengan cara curang.

    Thanks for sharing mba :)

    BalasHapus
  4. aku malah kalo ikut lomba2 ga berani berharap terlalu banyak menang atau dapat penghargaan. tapi lebih menikmati proses (pengalaman) nya.(padahal aslinya yo arep2...hihihi...)

    BalasHapus