Sabtu, 24 Desember 2016

Inner Child dan Memaafkan Masa Lalu #KisahFotoInstagramku

Kriet !

Pelan-pelan kubuka pintu kamar. Tugasku pagi ini sudah selesai, tiga pan pizza sudah masuk oven. Tapi, astaga! Ya Tuhan! Tembok kamar sudah penuh dengan coretan. Ada tulisan angka 1-5, gambar abstrak, dan juga tulisan blue dan red. Hasil karya Saladin yang baru berusia empat tahun. 


Tetes air mata tak terbendung lagi. Oh anakku, mama sedang membuatkan pesanan Tante Evi. Tapi kamu malah mencoret tembok kamar Om Foresta. Mungkin ini salahku karena kubiarkan ia menonton video animasi di pc, yang terletak di kamar adik bungsuku. Aku terlalu asyik menata topping dan menaburkan keju, sehingga tidak meluangkan waktu untuk melongok sebentar dan melihat aktivitasnya. Mungkin ia bosan sehingga mengambil kuas dan cat akrilik, lalu menghias kamar.

Tangan ini ingin menjewer telinganya. Tapi kewarasan membawaku untuk menekan tombol di hp, memotret “lukisan” karyanya, dan mengupload di akun instagramku, @bundasaladin.  Hal itu terjadi tanggal 2 desember 2016. Ada 14 follower yang menyukainya. Bahkan ada yang berkomentar “awesome”. Haah?

Hati ini rasanya campur aduk, sedih karena mengabaikan anak, demi mendapat keuntungan 60.000. Aku panik karena ini adalah kamar adikku, jadi coretannya harus segera dihapus sebelum dia pulang sekolah. Tapi juga merasa bersalah karena membiarkan Saladin bermain di dalam kamar selama satu jam tanpa pengawasan. Di sisi lain aku juga senang karena ia bisa menulis, dengan cara meniru video animasi, padahal ia tak pernah kuajari secara khusus. Buktinya, ada yang berkomentar “awesome” pada postingan foto itu. Standarnya, anak diajari calistung saat ia sudah tujuh tahun. Jadi jika ada anak berusia empat tahun bisa calistung (baca-tulis-hitung), kemungkinan IQ nya di atas rata-rata.

Kejadian ini “menjewerku”, walau Saladin sudah berusia empat tahun ia masih butuh perhatian dan pengawasan yang ketat. Aku percaya tak ada anak yang nakal, hanya saja mereka butuh cinta dan kasih sayang. Dan sekarang anakku berteriak minta diperhatikan, memanggilku lewat coretannya di dinding.

Mungkin ini yang ibu rasakan ketika aku bertingkah nakal, saat beliau mengajar di kampus. Saat SD aku pernah keluar rumah lewat jendela, kabur karena tidak mau disuruh tidur siang. Semua ini kulakukan karena aku merasa tak diperhatikan ibu, dan pengasuhku galak sekali. Ia pernah hampir mencekikku karena aku mogok makan.

Aku tak bisa curhat mengenai isi hatiku, cita citaku. Karena beliau hampir tak ada waktu senggang. Ibu adalah tipe wanita workaholic, yang suka membawa sisa pekerjaan ke rumah. Rasanya beliau tak pernah sayang padaku, lalu aku menentang semua perintahnya. Padahal beliau selama ini bekerja keras demi menghidupi keempat anaknya, karena ayahku telah pensiun. 

Kualat? Iya. Mungkin dulu Ibu merasa sedih karena saat tekun mengajar, anaknya malah tidak taat pada peraturan. Sekarang saat aku membuat pesanan pizza, anakku berkreasi tidak pada tempatnya. Ibu, maafkan aku.

Dulu aku bertingkah seperti itu karena merasa tak mendapat kebebasan. Mungkin karena jadi anak perempuan satu-satunya. Saat ingin ikut lomba desain di Surabaya, beliau tak memberi izin. Padahal jaraknya hanya 2 jam perjalanan dari Malang. Oleh karena itu, saat melihat ada boneka terkurung di dalam lampu, aku langsung memotretnya dan mengupload di instagram, tanggal 3 september 2016.


Ini adalah hiasan lampu plastik buatan ibu mertua. Entah mengapa beliau memasukkan boneka  di dalamnya. Dulu aku merasa seperti boneka itu, dikurung di dalam rumah, kesepian dan kurang perhatian. 

Semua pengalaman ini membuatku punya inner child yang rapuh dan cengeng. Apa itu inner child? Menurut Amalia Sinta (dari materi grup WA), inner child adalah sosok anak kecil yang ada di dalam diri kita. Inner child yang bermasalah menyimpan memori negatif. Coba pejamkan mata, dan lihat apakah ada sosok anak kecil yang menangis atau mengeluarkan umpatan. Jika iya, maka inner child kita harus diperbaiki.

Lihatlah gambar yang kubuat tanggal 28 februari 2016. Saat aku sedih, langsung corat coret buku, dan fotonya langsung ku-upload di instagram. Rupanya inner child negatifku kambuh sehingga aku merasa hampir depresi. 


Penyebabnya karena dari kecil aku terlalu dilindungi dan pernah dibully karena tidak bisa berbahasa jawa. Aku tumbuh menjadi anak yang cengeng dan emosional. Saat aku sudah dewasa, saat ditipu partner bisnis hingga puluhan juta, inner child-ku muncul lagi dan menarikku untuk menangis dan terus menangis, stress, dan hampir putus asa.

Padahal ada banyak teman yang mengulurkan bantuan, memberi buku motivasi sampai nasihat yang makjleb. Tapi motivator terbesar adalah diri sendiri, jadi hanya aku yang bisa menyembuhkan trauma inner child-ku. Karena jika terus kambuh, akan sangat sulit bagi Saladin. ia bisa meniru tingkah ibunya yang cengeng, padahal sebagai anak laki-laki, aku sangat berharap ia jadi tegar dan pemberani.

Obat dari inner child negatif adalah memaafkan. Masa lalu yang buruk harus dibuang jauh-jauh, dan aku berusaha untuk percaya bahwa ibu menyayangiku, dengan caranya sendiri. Setelah aku ikhlas, hubungan kami menjadi lebih baik, walau butuh waktu. Yang penting ibu mendukung bisnis pizza-ku.

Back to Saladin..

Setelah Saladin mencoret tembok, aku berusaha sabar dan memaafkan kelakuannya. Toh temboknya bisa dibersihkan. Seharusnya aku mengapresiasi karyanya. Walau ia tidak bersekolah di PAUD, tapi bisa bisa menulis angka dan mengayunkan kuas. Dia juga hafal nama warna dalam bahasa inggris. Hanya dengan menonton dan meniru video animasi berbahasa inggris.  

Jadi saat memasak, aku menengoknya sepuluh menit sekali, atau memberinya aktivitas seperti menggambar atau membaca buku, dan mendudukannya di tempat yang dekat dengan dapur. Yang penting ia merasa diperhatikan. Jika dulu aku merasa tidak diperhatikan ibu, jangan sampai anakku merasa diabaikan saat aku memasak.

Jika ada pesanan pizza lagi, strateginya begini:  dari satu kilogram terigu, bisa jadi 8 loyang pizza medium tanpa topping. Bisa dipanggang setengah matang, setelah dingin, baru diisimpan di freezer. Kalau ada orderan tinggal didiamkan dalam suhu ruang, diberi topping, dipanggang, lalu diantar kurir. Menghemat waktu dan tenaga. Aku bisa lebih banyak bermain dengan Saladin. 

Coretan di tembok itu membuatku untuk lebih sabar, dan memaafkan masa laluku.

Inilah #KisahFotoInstagramku, apa kisahmu?







28 komentar:

  1. Sebenarnya Saladin kreatif ya, Mba. Cuma medianya kurang tepat. Btw sukses GA nya :)

    BalasHapus
  2. waw.Sewaktu kecil saya juga suka coret2 mbak. Coret dinding memang favorit. Pernah baca di artikel, anak2 memang menyukai coret2 di dinding karena posisi tubuh seperti itu yg paling menyenangkan, selebihnya saya lupa karena apa.
    Lalu, saya pernah coret2 lemari ortu, menurut saya cantik karena warna2i, tapi setelah itu saya dimaki dan kehilangan gairah buat menggambar.
    Hari ini saya mulai suka lagi, upload di IG. Soal inner child, saya pernah punya memori negatif, tapi seiring waktu sudah lenyap hari ini.

    BalasHapus
  3. Kayak sy juga punya inner child yg buruk yg keluar kalau sy lg stress.... makasih tulisannya... hbs ini mau cari tahu lg ttg inner child...

    BalasHapus
  4. Baru tau aku istilah inner child, aku punya dan bisa memaafkan kejadian buruk di.masa kecil meski ga sepenuhnya sih.

    BalasHapus
  5. Aku malah kepengin banget Aiden segera coretin tembok hihihi

    BalasHapus
  6. Pola asuh kita ke anak sedikit banyak ada pengaruh dari pola asuh ibu di masa kecil kita ya Mbak. Makasih ikut GA saya ya... Salam...

    BalasHapus
  7. Dindingny ditempel kertas aja mba, soalnya menggambar di bidang vertikal memberi sensasi yg beda buat anak, lbh puas jdnya :)

    BalasHapus
  8. Samaan koq mba, anak ku juga gitu tapi aku hanya kasih 1 sisi tembok dikamarnya saja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Lily, di kamarnya udh full coretan
      Ini di kamar omnya..pakai cat akrilik pula hehheheh

      Hapus
  9. hehe... walaupun pengen nangis ngeliat hasil coretan anak di dinding, tapi tetep memotretnya ya mba... :)

    BalasHapus
  10. Waaah, saya abis bw tulisan tentang makanan. Pas di paragraf awal udah ngebayangin pizza bundanya Saladin aja nih hehe.

    Oya, saya jd dapet pengetahuan ylttg inner child. Thanks artikelnya ya, mbak. Salam buat si pintar, Saladin😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya..iya saya jualan pizza.. Bikinnya gampang koq

      Hapus
  11. aku prnh juga ngalamin shocked liat tembok rumah tiba2 merah dan yg dijadiin kuas ternyata lipstik yg untungnya bukan kesayanganku ;p.. tp mau marahin si kecil ga tega, dan untungnya lg, temboknya bisa dilap pake kain basah aja, dan bersih kembali.. sejak itu beberpa dinding rumah aku tempelin kertas mbak, jd si kecil bisa coret2 sesuka hati.. toh kalo kertasnya udh penuh, tinggal dibuang, tempelin kertas baru.. jd dinding ttp bersih :D..

    Wah, kamu bisnis pizza mbaaa? jd pengeeen ;)

    BalasHapus
  12. Waah dalam banget Mbak Zen, kisahnya.
    Inner child saya juga banyak negatifnya. Saya masih berjuang untuk tidak terperangkap di dalamnya :(

    BalasHapus
  13. Coba baca buku quantum ikhlas mba..

    BalasHapus
  14. Saladin emang keren bunda avi....

    BalasHapus
  15. kurasa, inner childnya aku masih banyak terkurung dan sering muncul pas lagi sndiri ato sedih2nya, mbak.. hhee
    Saladin... kamu kok gemesin smpe2 coret2 dinding heee
    Kreatif heee

    BalasHapus