Siapa yang tidak bangga ketika punya anak pintar? Sudah jago bahasa inggris dan matematika, sering menang lomba, ganteng / cantik, dll. Anak juga bahagia dengan hidupnya karena punya ritme hidup seperti ini: sekolah-les-pulang dan bersantai-malamnya belajar lagi. Tidak ada beban karena mereka punya masa kecil yang sangat indah.
UnsplashAkan tetapi, suatu hari
ananda tersayang murung. Ternyata ia kalah dalam sebuah lomba, yang diadakan di
sekolah. Dia langsung shock karena terbiasa
menjadi pemenang. Tapi kali ini kalah telak. Air mata terus mengalir, dan dia
jadi mengurung diri di kamar.
Peluk
Anak
Sebagai orang tua, kita
pasti ikut sedih ketika anak mengalami kegagalan. Apalagi ketika dia juga
mengisolasi diri. Saat anak meratapi kegagalan dan tidak mau didekati, biarkan
saja untuk sementara. Jangan dipaksa karena anak akan makin menolak perhatian
orang tua. Nanti kalau sudah tenang pasti dia akan mau cerita sendiri.
Ketika anak sudah
berhenti menangis, segera peluk dengan erat. Anak wajib paham bahwa orang tua
akan mencintainya tanpa syarat, bahkan ketika dia mengalami kegagalan. Pelukan
akan menenangkan dan membesarkan hatinya.
Bagaimana jika anak
bereaksi atas kegagalannya dengan kemarahan? Biarkan anak ngamuk lalu ketika
dia sudah diam, peluk lalu usap kepalanya. Bisikkan di telinganya bahwa dia
boleh bereaksi negatif saat gagal. Akan tetapi jangan marah yang berlebihan
sampai menghina orang lain atau merusak barang-barang yang ada di rumah.
Validasi emosi ini
sangat penting ya. Karena ada anak yang beranjak dewasa lalu gampang trauma
atau ke-trigger karena sejak kecil
jarang divalidasi emosinya. Jadi, ketika anak sudah dimengerti, dia akan paham
bahwa kesedihan dan kemarahan adalah jenis emosi.
Kegagalan
Bukan Akhir dari Segalanya
Kalau anak sudah
dipeluk, dia akan merasa nyaman. Nah, daripada sama-sama meratapi kegagalan,
lebih baik makan bersama untuk menaikkan mood. Nanti habis makan anak biasanya
akan lebih tegar dan mau menghapus air matanya.
Jika anak sudah kenyang
maka baru dinasehati bahwa kegagalan adalah suatu hal yang wajar. Kegagalan
bukanlah akhir dari segalanya. Dunia akan terus berputar walau anak belum
berhasil, jadi tidak usah murung lagi.
Membesarkan
Hati Anak
Anak memang awalnya
bingung bagaimana cara menghadapi emosi negatif yang terjadi akibat
kegagalannya. Akan tetapi lama-lama dia akan paham bahwa gagal adalah salah
satu proses belajar. Jadi, tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan
hatinya.
Sambil berduaan dengan
anak, berpelukan dan cerita-cerita, maka kita bisa membesarkan hatinya dengan
memberi contoh. Misalnya saat anak masih bayi dan belajar merangkak. Awalnya
dia gagal untuk melakukannya, tapi lama-lama berhasil.
Anak akan takjub karena
ternyata dulu dia pernah begitu tegar dalam menghadapi kegagalan. Dia belum
memiliki rasa takut untuk mencoba hal baru dan mengembangkan motorik kasarnya.
Jadi, ketika dia sudah agak besar, akan paham bahwa kegagalan adalah proses
yang normal pada kehidupan manusia, dan tidak usah didramatisir.
Gagal?
Coba Lagi
Sebagai orang tua, kita
memang wajib mengajari anak untuk cepat move
on dan tidak meratapi sebuah kegagalan. Penyebabnya karena kehidupan
bergerak ke depan, bukan ke belakang. Jika kegagalan dibahas terus maka anak
lama-lama jengah dan malas untuk ketemu orang tuanya.
Kalau gagal ya
sudahlah. Toh masih ada kesempatan berikutnya. Anak wajib dimotivasi bahwa saat
gagal maka dia wajib mencobanya lagi. Dia akan terus berusaha karena tidak
mengenal rasa kapok (dalam konteks positif yaa).
Jangan
Menyalahkan Diri Sendiri
Ketika anak belum
menang maka seharusnya dia diajari untuk ikhlas. Bagaimana dengan orang tuanya?
Wajib untuk legowo juga karena
kekalahan ini adalah sebuah takdir. Toh sebelumnya anak sudah berusaha keras,
walau hasil akhirnya belum memuaskan.
Ingat ya ibu-ibu, jangan menyalahkan diri sendiri ketika anak
gagal. Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri karena tidak akan
mengubah keputusan juri (setelah lomba selesai).
Kalau dia “hanya” dapat
juara harapan atau tidak menang sama sekali di perlombaan, mau bagaimana lagi?
Cukup tenangkan hati dan jangan malah self
blaming lalu menganggap diri ini sebagai ibu yang tidak mampu mengurus
anak.
Perasaan negatif saat
menyalahkan diri sendiri ketika anak mengalami kegagalan itu enggak enak, lho!
Apalagi kalau berlarut-larut. Kalau ibunya mecucu
lalu marah-marah maka mood anak
juga ikut jelek. Apa mau ditegur suami gara-gara galau tiap hari dan lupa
memberikan senyuman manis padanya?
Jangan
Terlalu Menuntut
Jika ibu sudah berhasil
menepis self blaming maka jangan pula
terlalu menuntut anak. Saat dia kalah lomba malah dimarahi habis-habisan dan
dihukum berat. Misalnya tidak boleh pakai gadget
selama beberapa bulan, uang sakunya dipotong, dll.
Anak yang terlalu
dituntut untuk selalu berhasil maka akan menjauh dari orang tua. Padahal ibu
dan ayah adalah sandaran anak, bukan? Kasihan banget anaknya, harus berprestasi
setiap waktu. Dia akan berpikiran bahwa jika tidak memiliki gelar juara, maka
tidak akan disayang.
Anak
Sudah Berani Mencoba
Saat anak sudah berani
ikut lomba, walau belum menang, sebenarnya adalah sebuah prestasi karena dia
berani mencoba. Lebih baik gagal daripada tidak ikut kompetisi sama sekali
dengan alasan takut kalah. Yang penting maju dulu, menang atau kalah urusan
belakang.
Lagipula sebuah
kompetisi memiliki banyak manfaat, bukan? Ketika anak mengikuti lomba, maka dia
akan mendapatkan pengalaman baru, networking
dengan peserta lain dan penyelenggara, dll. Anak akan ditempa mentalnya dan
tidak takut akan kekalahan.
Liburan
Bersama
Dalam rangka mengurangi
rasa kesal maka ibu bisa mengajak seluruh anggota keluarga untuk liburan
bersama. Misalnya dengan bermain di pantai atau sekadar piknik di taman kota.
Liburan bisa meredakan ketegangan pasca lomba dan merekatkan bonding antar anggota keluarga.
Berlibur bisa jadi stress release yang ampuh dan membuat
anak jadi merasa disayang. Dia jadi paham bahwa ibu dan ayah tetap
mendukungnya, walau dia belum bisa mempersembahkan kemenangan. Siapa yang suka traveling walau bukan di musim liburan?
Konsultasi
ke Psikolog
Jika semua jalan sudah
ditempuh tetapi anak masih murung sepanjang waktu, coba konsultasi ke psikolog.
Nanti akan ditelaah dan dicari jalan keluarnya. Konsultasi ini penting demi
kesehatan mental ibu dan anak.
Jangan biarkan anak
meratapi kegagalan berlama-lama karena akan memiliki banyak efek negatif. Dia
bisa malas sekolah, tidak mau bergaul, dll. Oleh karena itu kita butuh bantuan
profesional seperti psikolog, agar anak bisa move on dan ceria lagi.
Anak wajib diajari
untuk menerima kegagalan karena itu adalah proses belajar. Gagal itu biasa dan
wajib diterima. Manusia tidak mungkin menang terus karena kita bukan robot.
Maka, sebaiknya sejak kecil si bocah wajib dididik untuk tidak takut gagal.
Saat anak sudah bisa
menerima kegagalan dia akan bertumbuh dan kelak menjadi orang dewasa yang
tegar. Manusia yang bisa legowo akan
keadaan dan tidak shock ketika
usahanya belum berhasil. Yuk peluk dan motivasi terus anak agar bisa menerima
kegagalan, agar ia menjadi pribadi yang lebih baik.
You win some, you lose some.
BalasHapusMemang setiap orang ngga bisa menang terus2an yha.
Tips di artikel ini mantulll banget.
Bisa dibaca sambil dengar OST film Jumbo, terutama part ini
"Anakku ingatlah semua lelah tak akan tersiaaaaa
Usah kau takut pada keras duniaaaa"
Bener banget mbaa..setiap orang pasti pernah merasakan kegagalan dan anak juga harus dilatih untuk bisa menerimanya karena jika tidak takutnya nanti dia merasa yg paling diantara teman-teman yg lainnya...namun juga jgn sampai kegagalan membuatnya terpuruk dan tdk bisa bangkit
BalasHapusSelain mengajarkan dedikasi, disiplin dan GRIT. Kita juga mesti mengajarkan anak untuk meregulasi emosi sih. Karena itu tuh hal yang paling penting dalam hidup dan berkehidupan.
BalasHapusBelajar menerima kekalahan, dan kenyataan bahwa kita gak selalu mendapatkan apa yang kita mau adalah bentuk regulasi emosi juga.
Iniii yg bener kan. Orangtua mensupport anak, walaupun saat itu kalah dalam kompetisi. Di validasi perasaannya, di ajak ngobrol ketika mood nya sudah tenang.
BalasHapusKrn terkadang ada juga orangtua yg menuntut anak utk hrs selalu menang. Ga boleh kalah. Ini yg bahaya. Takutnya alsi anak akan melakukan segala cara supaya ortunya tidak marah ketika dia kalah.
Setuju bahwa emosi itu juga butuh divalidasi Mbak, rasa marah dan kecewa akibat kegagalan juga butuh divalidasi. Kalau tidak jika suatu hari dia gagal pasti kaget dan tidak bisa menguasai diri. Anak tetanggaku selalu juara 1 giliran gagal masuk PTN, sedihnya tak kira-kira, karena mungkin dia tidak terbiasa gagal. Orang tua punya peran besar sih buat mengarahkan anak ketika gagal. Kalau jaman dulu cenderungnya pasti tambah dimarahi, anak yang sudah sedih makin merasa terpuruk kalau jaman sekarang harusnya ortu sudah lebih pandai ya apalagi banyak literasi yang bisa dipelajari :)
BalasHapusbener banget. anak2 juga perlu belajar untuk menerima kegagalan supaya nggak kaget kalo udah gede nanti. untuk menyiapkan diri kalo nggak semua hal bisa sejalan dengan apa yang direncanakan
BalasHapusIni satu hal penting yang harus kita ajarkan juga nih ke anak, yaitu untuk menerima kegagalan dan bisa bangkit kembali.
BalasHapusBener sih, kalau kita validasikan emosi yang ada, anak berpotensi gak akan terlalu larut dalam kesedihannya. Memang agak gak nyaman juga buat kita melihat anak sedih dan merasa "gagal". Tapi memang hal itu mereka butuhkan supaya mereka bisa bertahan hidup kelak.
Menang dan kalah dalam kehidupan itu sudah biasa
BalasHapusSudah hukum alam nya
Tinggal menentukan watak anak, apakah jadi pribadi yg bisa menerima kekalahan dan memperbaiki
Atau jadi pihak yg tidak bisa menerima dan menyalahkan pihak lain?
Keputusan ada d tangan masing-masing... Dan menuju ke sana itu memang tidak mudah
Validasi emosi ini sangat penting << setuju sekali dengan kalimat ini, karena memang membiarkan anak kecewa,sedih ketika menerima suatu kejadian yang tidak menyamankan itu respon yang wajar.
BalasHapusBenar sekali apa yang ditulis kak Avi ini, peran orang tua penting untuk merangkul, menjelaskan arti kegagalan. Semoga banyak orang tua atau pendidik bertemu dengan tulisan ini, sehingga semakin banyak anak-anak penerus kehidupan memiliki jiwa yang kuat.
Namanya kehidupan, tidak selamannya apa yang diinginkan anak akan tercapai. Begitu juga kegagalan. Sebenarnya hal lumrah ya, Mbak. Tapi memang peran orang tua sangat besar dalam hal ini. dan tips di atas sudah keren sekali. Bagaimana orang tua menghibur, membesarkan hati anak, terus memberi semangat, dan pastinya menjelaskan, kalau kegagalan bukan akhir segalanya. justru dari kegagalanan, kan banyak belajar untuk memenang kompetisi berikutnya.
BalasHapusAku dan adik bungsuku sering ditinggal orang tua kami yang merantau. Jadi, adikku tuh kayaknya lebih nyaman kalau berinteraksi denganku ketimbang dengan orang tua kami.
BalasHapusMakanya, saat dia ikut pemilihan tim voly daerah kami, dia cerita ke aku. Waktu itu, aku melihat semangatnya untuk masuk tim voly daerah itu.
Dia bilang kalau dia dapat support dari temannya. Mana temannya bilang kalau ada kemungkinan besar dia keterima.
Tapi, ya aku cuma mendengarkan euforia dia sama support temannya. Terus pas malamnya, sebelum dia ikut seleksi, pas makan malam, aku bilang ke dia.
Kamu cuma perlu melakukan usaha terbaikmu. Apapun hasilnya, kamu tidak akan menyesal kalau kamu lakukan itu.
Qodarullah, dia nggak lolos seleksi. Kupikir dia akan bersedih. Tapi, ternyata nggak dong. Berarti dia sudah menerima kegagalannya sendiri. Dan aku senang sih meski dia nggak lolos seleksi juga. Hehehee