Tetes demi tetes air
mata membasahi pipi. Di keheningan malam, anak-anak sudah terlelap. Sang ayah
masih lembur di kantor. Sementara sang ibu bergulat dengan emosi negatif,
tangisannya belum berhenti sampai ketenangan datang kembali.
Pernahkah para ibu
menangis sendirian di malam hari? Ketika semua sudah tidur, perasaan berkecamuk
dan hati pun sesak. Hanya bisa berdoa dan berharap akan pertolongan dari Sang
Maha Kuasa.
Tangisan ibu sebenarnya
bukan tanda kelemahan. Karena kita tidak bisa selalu ceria, bukan? Kadang butuh
air mata untuk meluluhkan emosi negatif di dalam dada. Lantas mengapa banyak
yang menangis dalam malam yang senyap?
Merasa
Bersalah
Jujur sebenarnya
pekerjaan sebagai ibu itu sangat tidak
mudah karena dikerjakan selama bertahun-tahun. Tak hanya memastikan anak
mengkonsumsi makanan bergizi dan memantau pendidikannya. Tapi para ibu juga
berjuang agar anak tumbuh menjadi orang yang tahu sopan-santun dan taat pada
aturan agama.
Dalam prakteknya, ibu
bisa saja khilaf dan marah besar ketika anak tidak sengaja menumpahkan minuman.
Ada juga yang tidak sengaja mencubit paha putranya karena dia malas disuruh
mandi sore.
Kemudian di malam hari,
dia menyesal karena melakukan hal yang menyakitkan fisik dan hati, padahal anak-anak
adalah buah hati tersayang. Penyesalan itu hadir diiringi tangisan yang
mendalam.
Lelah
Secara Mental
Ibu juga bisa lelah
secara mental karena mengurus semuanya sendiri, karena tidak punya asisten
rumah tangga. Belum lagi ketika bayinya rewel, atau menghadapi tetangga yang
resek.
Hati-hati lho, jika
lelah mental dan menangis lebih dari seminggu berturut-turut, carilah
pertolongan profesional. Datang ke psikolog atau psikiater bukan berarti ibu
sudah gila. Tapi merupakan cara untuk mengembalikan kesehatan mentalnya.
Kurangnya
Support System
Seperti yang sudah daku
sebut di atas, tidak semua suami bisa menyediakan asisten rumah tangga, atau
memberi uang ekstra untuk bayar laundry dan katering. Akhirnya sang istri jadi
berjibaku, di dapur, di kamar, dan di kantor.
Kurangnya support system tentu membuat ibu
kelelahan. Pulang kantor harus memasak demi penghematan. Padahal habis terjebak
macet dan ingin goleran sebentar saja. Penumpukan rasa lelah tentu memunculkan
tangisan, sampai kapan keadaan ini terjadi?
Read: Jadi Ibu yang bahagia, bukan yang sempurna
Daku tidak bilang
“sabar” karena semua ibu pasti sudah bermodal kesabaran. Tapi memang wajib ada
solusi jika memang belum ada support
system yang butuh uang.
Misalnya ibu bisa
memasak beberapa menu untuk seminggu lalu disimpan di freezer, jika akan makan
baru dihangatkan. Anak-anak juga dididik untuk mandiri sehingga bisa mencuci
piring dan membantu memasukkan baju kotor ke mesin cuci.
Self
Love?
Beberapa kali daku
membaca utas di sosial media, ketika ada ibu yang ingin beli jajan atau
ngopi-ngopi cantik di kafe, tapi batal karena memikirkan anaknya. Mau beli baju
tidak jadi, malah beli sepatu dan tas untuk anaknya. Lalu kapan ibu bisa
bahagia kalau kebutuhannya sendiri selalu diabaikan?
Jangan lupa me time yaa. Self love bukan salah satu bentuk keegoisan. Tapi sebagai cara
untuk tetap waras. Ibarat teko, harus diisi air baru bisa mengeluarkan ke
cangkir-cangkir. Jadi tangki cinta ibu wajib diisi, salah satu caranya dengan
mencintai diri sendiri.
Self
love tak harus mahal kok. Bisa dengan ngopi sendirian
saat anak-anak sudah berangkat sekolah, atau makan mie instan ketika mereka
sudah tidur. Usahakan di rumah juga pakai baju yang pantas (bukan daster bolong
yang bau), pakai sunscreen, dan
jangan lupa senyum.
Menjadi ibu adalah
pekerjaan yang nyaris seumur hidup dan membutuhkan komitmen yang sangat tinggi.
Juga pikiran, perasaan, dan berbagai hal lain, demi kesehatan fisik dan mental
anak-anak. Tapi jangan terlalu sering berkorban (dengan alasan anak) dan wajib
cintai diri sendiri, agar tidak melulu menangis di malam hari.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar