“Ramadan tiba, Ramadan tiba….”
Siapa
yang suka ketika Ramadan tiba? Sebagai muslim tentu senang saat bulan puasa
datang. Rasanya jadi lebih khidmat. Meski tidak makan dan minum selama 13 jam
tetapi tubuh tetap beraktivitas seperti biasa dan beribadah juga lebih khusyuk.
Ramadan
2024 ini menjadi ramadanku yang ke-12 bersama suami tercinta. Seminggu di bulan
puasa, seperti biasa, tidak ada permintaan khusus dari beliau. Tak pernah ada request ingin sahur dengan lauk rendang,
opor, atau lauk lain. Yang penting masakannya tidak pedas dan teksturnya empuk.
Bahkan aku juga dibebaskan untuk membeli lauk matang ketika tak punya mood untuk memasak.
Baju Baru, Alhamdulillah
Selain
melayani suami, kebiasaan istri adalah berbelanja. Indonesia itu wow banget
memang ya. Katanya resesi tapi buktinya daya beli masyarakat masih tinggi. Sejak
2 minggu sebelum Ramadan, sudah terpajang berbagai kue kaleng, permen, cokelat,
dan berbotol-botol sirup di minimarket.
Begitu
juga dengan penjual baju lebaran. Sebulan bahkan dua bulan sebelum Ramadan mereka
sudah gencar berpromosi. Alasannya agar pembeli bisa khusyuk ibadah saat bulan
puasa, karena tidak memikirkan untuk belanja baju baru.
Namun
anehnya di awal Ramadan ini keinginanku untuk membeli gamis dan kerudung baru hilang sama sekali. Meski ada banyak
yang mengiklankan baju model terbaru dengan harga yang bervariasi, tetapi aku
hanya memandanginya dan tak berniat untuk memesannya. Beda jauh dengan tahun
lalu dan tahun-tahun sebelumnya, aku biasanya beli 2 potong gamis dengan warna ngejreng.
Beli Kue Kering, Memangnya Wajib?
Begitu
juga dengan keinginan untuk membeli kue kering, menguap begitu saja sejak
sebelum Ramadan. Biasanya aku membeli setidaknya 1 stoples nastar dan 1 stoples
putri salju. Atau, membuat nastar sendiri, dengan bahan-bahan yang mudah
didapat di minimarket.
Sumber: Pixabay
Apakah
ada kewajiban untuk membeli kue kering? Siapa yang membudayakannya? Seingatku dulu
(tahun 90-an) saat merayakan lebaran di kampung Papa (di Desa Mlonggo,
Kabupaten Jepara), yang terhidang adalah tape ketan yang dibungkus dengan daun
pisang. Sementara kue kaleng tergolong suguhan yang cukup mewah.
Mengapa Jadi Tidak Ada Keinginan?
Akupun
bertanya kepada diri sendiri, mengapa keinginan untuk tampil cantik paripurna
saat lebaran jadi hilang? Ke mana sifatku yang dulu agak kenes dan suka mix and match baju,
kerudung, sandal, dan tasnya? Awal puasa juga biasa saja, tidak heboh membeli
margarin, selai nanas, dan tepung seperti dulu (untuk dijadikan nastar).
Mungkin
aku sudah mencapai kata ‘cukup’ untuk merayakan Ramadan dan lebaran dengan
bersolek dan menyajikan kue kering dengan aroma yang wangi. Sudah saatnya untuk
bersikap biasa-biasa saja saat Ramadan dan tidak memborong baju dan aneka
kukis. Ritual shopping saat Ramadan menjadi
hambar dan belum ada keinginan lagi untuk melakukannya.
Lagipula,
sejak menikah aku selalu berlebaran di Kota Malang, di rumah ibu mertua
terkasih. Saat mudik juga cepat, hanya sekitar 30 menit dengan bersepeda motor
sudah sampai. Sebagai menantu maka aku menjadi orang
yang bertamu, bukan yang menerima tamu. Buat apa beli kukis banyak-banyak jika
akhirnya dimakan sendiri?
Beginilah
cerita awal ramadanku yang berusaha kujalani dengan penuh kedamaian. Agaknya Allah
mengabulkan doaku (yang dipanjatkan jauh sebelum Ramadan). Kala itu aku meminta
agar nafsu makanku diturunkan (karena sedang berusaha menurunkan berat badan). Ternyata
tak hanya selera makanku yang menurun, tetapi juga keinginan untuk belanja yang
juga menghilang. Sebenarnya Ramadan yang sederhana juga bisa dilakukan, yang
penting khusyuk ibadahnya.