Kata-kata tak mampu menghiburku.
Segelas kopi dingin juga gagal meredakan emosiku. Ya, sepertinya selama 1-2
bulan ini daku mengalami burnout dan tidak lagi menikmati
kegiatan yang biasanya kusukai. Ehh disclaimer,
ini postingan curhat yaa.
Awalnya di bulan
September daku sakit, batuk, pilek, ketularan paksuami. Disusul Saladin yang
demam. Kami tumbang bebarengan selama hampir 2 minggu. Begitu lemas sampai
harus bedrest selama beberapa hari.
Alhamdulillah kondisi
suami sudah cukup sehat sehingga beliau yang merawat: membuatkan makanan dan
minuman hangat, memberikan minuman herbal, dll. Mamaku juga datang untuk
menjenguk plus bawa fried chicken. Sementara
ada satu sohib yang tiba-tiba datang jam 7 pagi dan memberi sepanci sup merah.
Perasaan
yang Kacau-Balau
Begitu banyak perhatian
dari orang-orang di sekelilingku, tapi mengapa tetap begini perasaannya? Lelah lahir
dan batin. Mau menulis bingung tapi ada banyak ide di kepala. Akhirnya ide-ide
itu untuk sementara disimpan di buku, aplikasi notes, dan di laptop.
Biasanya daku tuh cukup
baca sekian halaman buku (atau blogpost)
lalu dapat ide dan langsung nulis. Tapi kali ini stuck. Mengapaa oh mengapaa?
Tugas
yang Tertunda
Akibat burnout ada tugas blog walking yang tertunda. Maafkan ya kawan-kawan, gara-gara
keterlambatanku ini. Namun daku berusaha untuk menyelesaikannya dan tulus dalam
memberi komentar.
Selain itu ada tugas
alias bikin tulisan buat challenge di
FB (66 hari terpaksa menulis) yang dimulai sejak awal agustus lalu. Harusnya selesai
awal oktober. Namun karena sakit dan lemas jadi bolos nulis. Setelah sehat, mau
nulis lagi jadi blank.
Stress
Berkepanjangan
Apa yang terjadi pada
diriku? Sepertinya ini penumpukan lelah lahir dan batin serta stress
berkepanjangan. Dimulai dari akhir tahun 2023 lalu ketika kehilangan pekerjaan.
Lalu tahun 2024 sempat bantu-bantu tugas teman tapi ya hanya job untuk sementara.
Memang harusnya daku
tuh sibuk atau harus tidur lebih lelap biar enggak mikir macam-macam dan jadi
stress sendiri. Akhirnya rutinin jalan pagi seminggu 4 kali, sekalian antar
Saladin ke sekolahnya. Lumayan lah tekanan pikiran jadi berkurang.
Setelah dipikir-pikir
lagi mengapa bisa stress? Toh pekerjaan bisa dicari lagi. Namun lebih baik cari
job lain yang tidak selalu dikejar deadline. Karena tekanan job yang besar tapi gajinya belum
memuaskan.
Sepertinya daku terlalu
memaksakan diri untuk sibuk menulis dan memenuhi target seperti dulu. FYI, dulu
ketika masih kerja di sebuah agen, daku bisa nulis 2.000-3.000 kata per hari. Lelah
tapi menyenangkan.
Sekarang? Nulis 300-600
kata per hari aja sudah harus disyukuri. Tapi jadinya merasa produktivitas
menurun. Padahal tidak ada orang yang bilang seperti ini. Hal ini hanya ada di
pikiranku sendiri. Mengapa daku jadi menyalahkan diri sendiri?
Sekarang daku berusaha
rileks dan menerima semuanya. Jika bisa nulis banyak maka Alhamdulillah. Membaca
buku pun tidak ditarget seperti dulu (kalau duluu saking sukanya baca bisa
lancar, 100 halaman per jam, dan buku setebal 500 halaman bisa dibaca ngebut
sampai seharian). Sekarang baca dengan santai, karena tidak ada target yang
melah memusingkan.
Kemampuan manusia untuk
adaptasi dan mengatasi masalah adalah suatu kewajiban. Jadi burnout-ku karena terlalu menuntut dan
menyalahkan diri sendiri. Padahal tidak ada salahnya untuk berganti karir,
mencari pekerjaan baru, fokus ngeblog, atau lebih memperhatikan Saladin (yang
masih butuh banyak perhatian walau sudah remaja).
Kalau kamu apa pernah
merasa burnout?
Kadang emang rutinisan berulang , bikin bunrtout juga. Orz
BalasHapus